Aksi teror belum berhenti di Indonesia. Sel-sel kelompok radikal masih tumbuh di berbagai wilayah. Penangkapan dan tindakan pidana palaku teror hampir selalu dibarengi dengan munculnya kader baru. Mati satu bisa tumbuh seribu. Teroris yang mati akan dianggap sebagai pahlawan oleh kelompok tertentu dan muncul simpati dari keluarga, teman dekat, atau orang yang disatukan dengan ideologi yang sama. Pertempuran melawan teroris sering dimenangkan, tapi perang melawan terorisme masih panjang untuk diakhiri.

Berbagai macam latar belakang dan alasan sehingga orang atau kelompok melakukan teror. Hal ini berujung pada teror dianggap sebagai alat yang paling efektif untuk memaksakan dan mencapai tujuan. Teror dilakukan termasuk demi tujuan-tujuan yang bersifat kepuasan rasial seperti yang dilakukan oleh Hitler (Nazi Jerman).

Pilihan atas aksi teror dibanding oleh aksi atau cara lain untuk mewujudkan cita-cita orang, kelompok atau negara menurut pendapat penulis, disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, teror merupakan cara paling efektif untuk menunjukkan eksistensi kelompok minoritas atau marginal. Kedua, teror adalah cermin dan implikasi atas kepribadian pemimpin kelompok yang tidak sehat dan menjadi kultur kelompok secara umum.

Ketiga, aksi-aksi non teror seperti diplomasi tidak berhasil dilakukan atau sudah sering dilakukan dan tidak berhasil. Keempat, teror sebagai implikasi atas pemahaman suatu doktrin atau ajaran kekerasan sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai cita-cita, terutama dialami oleh kelompok-kelompok garis keras/radikal dengan latar belakang sentimen teologis atau politis yang membuat perbedaan ekstrim dengan kelompok lain tidak bisa diterima dan harus dilawan/diperangi.

Aksi terorisme yang menggunakan ciri khas kekerasan tentu saja menimbulkan korban. Korban terorisme dapat dikategorikan menjadi tiga jenis. Pertama adalah korban langsung, yaitu orang yang menjadi korban aksi teror secara langsung di tempat kejadian, biasanya meninggal dunia, cacat, atau luka secara fisik, dan trauma secara psikis.

Jenis kedua adalah korban sekunder, misalnya keluarga korban langsung yang terkena dampak. Korban langsung yang menjadi tulang punggung keluarga, jika meninggal atau cacat tentu akan berdampak kepada keluarganya. Secara psikis akan kehilangan atau akan menghadapi orang yang dicintainya menjadi tidak produktif atau mengalami trauma sehingga harus perlu usaha yang luar biasa bagi keluarga untuk dapat bertahan hidup.

Korban ketiga adalah korban tidak langsung, yaitu orang yang tidak mengalami atau bukan keluarga korban langsung tetapi terkena dampak dari aksi terorisme tersebut. Misal gara-gara aksi terorisme maka tempat mencari nafkahnya menjadi sepi atau misal walaupun tidak ada hubungannya dengan aksi atau kelompok teror tetapi ketika melakukan kunjungan ke luar negeri menjadi sulit.

Keluarga pelaku aksi teror juga merupakan korban tidak langsung. Sorotan media dan publik membuat mereka menjadi terintimidasi dan terkucilkan. Selain itu muncul kebencian dari masyarakat terhadap keluarga teroris walaupun belum tentu bahwa keluarga pelaku aksi teror mengetahui, menyetujui atau bahkan akan berbuat yang sama dengan pelaku aksi teror.

Publik terutama anak-anak juga menjadi korban secara tidak langsung dari aksi teror karena terpaksa mengkonsumsi informasi dari media yang berlebihan tentang aksi terorisme. Tayangan yang sering kali berulang dan bahkan cenderung vulgar untuk mengejar rating, cenderung tidak memperdulikan ekses dari para pemirsanya yang masih belum dewasa. Tayangan yang penuh korban kekerasan tersebut akan mudah terpatri dalam benak anak dan akan berdampak tidak baik jika secara mental belum siap mencerna informasi secara benar.

Data BNPT menyatakan bahwa antara tahun 2000-2015 tercatat 996 orang terjaring operasi penegakan hukum oleh Polri dalam kasus terorisme. Dalam operasi penegakan hukum ini 99 orang meninggal di tempat kejadian perkara, 12 tewas sebagai pelaku bom bunuh diri, 3 orang dieksekusi mati. Sebanyak 19 orang masih dalam proses penyidikan, 17 orang dalam proses sidang, dan 787 orang sudah menerima vonis.

Pelaku aksi terorisme yang masih dalam penjara saat ini sejumlah 246 orang, dan tercatat oleh BNPT bahwa 25 orang di antaranya masih berperilaku radikal. Sementara pelaku aksi teror yang sudah bebas sebanyak 541 orang. BNPT menyatakan bahwa saat ini tercatat ada sekitar 500 WNI yang bergabung dengan ISIS di Suriah. Narasi radikal dari ISIS berhasil mempengaruhi para pemuda yang sebagian besar ilmu agamanya belum matang dan mudah goyah dan mudah dipengaruhi.

Aksi Teror

Kelompok radikal sebagai pelaku teror di Indonesia menyebar di berbagai wilayah. Kelompok radikal kanan menjadi pelaku dominan dengan tujuan utama meneruskan perjuangan berdirinya Negara Islam Indonesia. Negara Islam Indonesia sebagai sebuah gerakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo diproklamirkan pada 7 Agustus 1949 di Garut Jawa Barat. Cara-cara kekerasan termasuk penggunaan senjata dilakukan oleh kelompok ini untuk mewujudkan Negara Islam Indonesia.

Kasus-kasus pada era orde baru yang dapat dimasukkan dalam kategori terorisme seperti Komando Jihad (1980), Cicendo (1981), Woyla (1981) dan Borobudur (1985) merupakan bukti kaum teroris ingin menunjukkan eksistensinya.

Setelah era reformasi dimulai, Indonesia sudah mengalami aksi terorisme selama beberapa kali. Tahun 2001 bom meledak di Bali, disusul serangan Bom di Hotel J.W Marriot pada tahun 2003. Kedutaan Australia di Jakarta tak luput dari serangan bom teroris pada tahun 2004. Tahun 2005 Bali mengalami serangan bom dari teroris untuk kedua kalinya. Hotel J.W Marriot dan Ritz-Carlton pada tahun 2009 juga menjadi sasaran bom dari teroris.

Tahun 2010 jaringan teroris pimpinan Abu Tholud melakukan aksi penembakan terhadap warga sipil di Aceh. Selain itu aksi kriminal perampokan bank CIMB Niaga Medan pada September 2010 terbukti adalah aksi dari kelompok teror. Mulai tahun 2010-2011 ada perubahan sasaran dari kelompok terorisme.
 Sebelumnya kelompok teroris melakukan aksinya kepada korban yang mempunyai simbol barat dan kafir, sasaran kelompok teroris berubah dengan menjadikan polisi sebagai sasaran.

Bom bunuh diri di masjid Mapolres Cirebon pada 11 April 2011 menewaskan pelaku M.Syarif dan melukai lebih dari 20 korban. Di tahun yang sama bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo melukai 22 korban, pelaku Ahmad Hayat tewas.
Di Solo pada saat pengamanan lebaran September 2012 terjadi penembakan dan pelemparan granat ke beberapa pos polisi yang dilakukan oleh kelompok Farhan. Di Poso Sulteng pada Oktober 2012 dua anggota Polres Poso ditemukan tewas di hutan Tamanjeka Poso.

Menyusul kejadian tiga anggota Brimob Sulteng yang ditembak di kawasan Tambarana pada 20 Desember 2012.
Pada Tahun 2013 Polri secara signifikan melakukan penangkapan pelaku terorisme. Penangkapan secara maraton di Depok, Bandung, Kendal, Kebumen dan Jakarta berhasil membongkar jaringan kelompok Thoriq, Farhan, Hasmi, Abu Roban (Mujahidin Indonesia Barat), dan termasuk kelompok Santoso di Poso (Mujahidin Indonesia Timur). Akhir tahun 2013 Polisi menggenapi aksinya dengan melakukan penyergapan teroris kelompok Dayat di Ciputat Tangerang Selatan dengan menewaskan 6 orang teroris.

Perkembangan kelompok radikal pelaku teror paling hangat tentu saja kelompok Mujahidin Indonesia Timur. Aksi kelompok MIT di Poso melibatkan pelaku dari kelompok Poso, Bima, dan dari Uighur. Cina. Penetrasi dari Satgas Tinombala berhasil menewaskan pemimpij MIT (Santoso dan Basri). Namun, apakah penembakan terhadap amir MIT ini akan menghapus terorisme?.

Tumbuh Subur

Aksi teror terjadi karena adanya paham radikal yang menjangkiti orang atau kelompok sehingga cara-cara dengan kekerasan ditempuh untuk mewujudkannya.  Untuk menghentikan aksi teror maka paham radikal harus dikikis. Paham radikal disebarkan dengan cara-cara narasi radikal oleh orang terdekat atau orang yang dipercaya.

Aksi teror tumbuh subur karena menggunakan kekuatan agama sebagai faktor pemersatu. Beberapa pelaku teror seperti Basri, anggota kelompok Santoso yang melakukan teror di Poso ternyata mempunyai motif balas dendam. Basri adalah gitaris Seledri Rock, band yang cukup terkenal di Poso. Saat remaja Basri menato tubuhnya, kerap menenggak minuman cap tikus.  Basri kerjaannya minum dan mabuk-mabukan sampai pagi.

Basri melakukan teror dan tergabung dengan kelompok radikal Mujahidin Indonesia Timur di Poso karena motif dendam, anggota keluarganya banyak dibunuh saat kerusuhan konflik Poso. Untuk mendapat dukungan dan manyuburkan paham radikal maka kelompok radikal membawa dalil-dalil agama.

Kekuatan Sosial Melawan Terorisme

Kelompok radikal bisa bertahan karena mendapat dukungan dari masyarakat. Dukungan ini diperoleh karena beberapa kemungkinan. Pertama adalah karena takut, teror berhasil dilakukan dan masyarakat terpaksa mendukung karena takut mengalami kekerasan. Kedua karena simpati yang disatukan dengan ideologi yang sama. Kelompok radikal, terutama yang bersembunyi di hutan, jika tidak mendapat dukungan logistik dan informasi dari masyarakat maka kelompok tersebut tidak akan bertahan.

Gerakan melawan terorisme di masyarakat perlu diciptakan, Pisahkan antara terorisme dan agama. Ciptakan opini bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa yang harus diperangi apapun motifnya. Seluruh lapisan masyarakat harus dilibatkan dalam hal ini.
 Jika masyarakat sudah memiliki kesadaran sosial untuk melawan terorisme maka deteksi dini dan cegah dini secara otomatis akan dilakukan oleh masyarakat.
Peran lembaga agama seperti MUI cukup vital. MUI bersama dengan ormas-ormas keagamaan harus kompak menyatakan bahwa terorisme adalah musuh. Negara perlu mengampanyekan secara luas ke seluruh lapisan masyarakat bahwa aksi teror adalah kejahatan luar biasa yang harus dilawan.

Pencegahan terorisme dengan deradikalisasi secara kelembagaan tidak efektif. Orang yang sudah terjangkit paham radikal hanya akan mendengarkan paham-paham dari pemimpin di kelompoknya. Jika deradikalisasi dilakukan oleh pemerintah maka hanya akan dimanfaatkan oleh kelompok radikal tersebut.
Program-program deradikalisasi akan digunakan sebagai masa untuk bertahan hidup (survival). Ketika mereka (kelompok radikal) sudah eksis dan mempunyai daya untuk beraksi maka aksi akan dilakukan. Deradikalisasi yang kurang tepat justru bisa dijadikan modal bagi teroris untuk bangkit dan beraksi kembali.

Kesimpulan

Selama penanganan terorisme hanya bersifat kelembagaan tanpa melibatkan masyarakat maka hal tersebut tidak akan berhasil. Teror akan terus dilakukan selama ada kepentingan yang dimiliki oleh kelompok radikal. Agama dimanfaatkan sebagai daya pemersatu sekaligus dimanfaatkan untuk mencari pengikut dan menghindar dari posisi musuh bersama. Agama tidak akan dimusuhi.

Terorisme harus dilawan, aksi teror harus dicegah, paham radikal tidak boleh dibiarkan menjangkiti pikiran orang. Melawan terorisme dengan kekuatan sosial masyarakat akan efektif, bukan dengan program kelembagaan dan tindakan kekerasan. Kapan terorisme di Indonesia bisa berhenti?. Tergantung kapan kekuatan sosial masyarakat bergerak melawan terorisme.

*) Stanislaus Riyanta, Analis masalah keamanan dan terorisme, Alumnus Program Pascasarjana S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia (UI).

Pewarta: Stanislaus Riyanta *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016