Berbagai isu yang selama ini disuarakan oleh kelompok pendukung separatis Papua baik di dalam negeri dan luar negeri seperti masalah penolakan pembangunan pangkalan militer di pulau Biak, dugaan rasisme terhadap  mahasiswa Papua di Yogyakarta, Semarang, Wamena, Sentani, dan Nabire serta tudingan adanya kekerasan sistematik yang dilakukan oleh TNI dan Polri di Papua ternyata tidak digubris atau bukan menjadi isu yang layak dijual di luar negeri.

Hal ini terbukti dari aksi unjukrasa pendukung separatis Papua yang tergabung dalam kelompok Watch Indonesia (WI) tanggal 23 Juli 2016 di dekat gedung KBRI Berlin di Jerman, dimana aksi tersebut hanya diikuti 9 orang peserta aksi, di antaranya 2 warga negara asing yang selama ini diduga sebagai provokator atau propagandis masalah Papua di luar negeri.
    
Menurut cacatan penulis, Watch Indonesia selama tahun 2015 juga pernah melakukan aksi ujukrasa yang mengangkat berbagai permasalahan di Papua yang juga kurang mendapatkan antusiasme masyarakat Eropa lainnya, terbukti dari aksi unjukrasa mereka yang berlangsung singkat dan kurang diperhatikan masyarakat serta berlangsung di daerah-daerah yang sepi atau di lokasi yang bukan merupakan pusat aktivitas publik.
    
Di samping itu, menurut analisa penulis dari berbagai pemberitaan media massa di luar negeri, beberapa permasalahan seperti pelanggaran HAM, penggunaan kekerasan oleh oknum aparatur negara, dugaan terkait sulitnya akses masuk ke Papua, isu-isu rasisme di Papua, penangkapan para demonstran dan lain-lain cenderung kurang mendapatkan sorotan pemberitaan media massa asing, karena mereka menilai permasalahan di Papua adalah persoalan internal dalam negeri Indonesia, sehingga dipandang oleh media asing kurang memberikan magnitude pemberitaan yang bersifat internasional.
    
Walaupun aksi unjukrasa yang dilakukan Watch Indonesia belum berdampak signifikan, namun hal tersebut menurut penulis dapat dinilai sebagai upaya Gerakan Separatis Papua di luar negeri untuk menginternasionalisasikan permasalahan Papua.
    
Sejauh ini, upaya-upaya pendukung OPM di luar negeri lebih mengutamakan menggunakan strategi diplomasi dan propaganda untuk mempengaruhi opini masyarakat Eropa dan sekitarnya, namun sejauh ini upaya diplomasi kelompok pendukung seperatis Papua di luar negeri masih kurang berhasil bahkan bersifat counter produktif bagi perjuangan mereka, karena secara tidak langsung beberapa tokoh politik di Eropa justru memanfaatkan kelompok pendukung separatis Papua untuk kepentingan sesaat mereka atau untuk kepentingan politik transaksional.
     
Hal tersebut, dengan indikasi beberapa tokoh politik oportunis di Eropa meminta dukungan suara dari kelompok pendukung seperatis Papua di luar negeri dan sebagai balasannya mereka berjanji akan memperjuangkan isu Papua pada tataran yang lebih tinggi di pemerintahan negara mereka, walaupun sejauh ini upaya "kong kalikong politik" mereka belum berhasil, hal ini dikarenakan upaya diplomasi dan kegiatan mempublikasikan perkembangan pembangunan di Papua yang dilakukan beberapa pihak di Indonesia lebih meyakinkan dibandingkan upaya propaganda kelompok pendukung separatis di luar negeri.

Unjukrasa tidak profesional

Watch Indonesia didirikan pada 1991, beranggotakan sejumlah orang Indonesia dan Jerman dengan menspesialisasikan diri sebagai pemerhati masalah HAM di Indonesia. Menurut mereka, Watch Indonesia didirikan untuk membantu kelompok-kelompok di Indonesia yang menginginkan demokrasi dan penegakan HAM.

Watch Indonesia memberikan advokasi dan berbagi informasi melalui buletin bulanannya, aktivitas Watch Indonesia lebih banyak diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan ilmiah.

Organisasi yang berkantor pusat di Berlin itu kini sudah membawahkan sejumlah organisasi otonom yang tersebar hampir di setiap kota besar di Jerman. Salah satunya: Ost Timor Grup, organisasi otonom yang giat mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi seputar pelaksanaan HAM dan demokrasi di Indonesia, khususnya Timor Timur.
    
Dari penjelasan terkait profile Watch Indonesia yang dapat kita pelajari dari berbagai media massa, penulis mendapatkan kesan bahwa NGO ini menggunakan kegiatan ilmiah untuk melakukan dukungan secara tidak langsung terhadap kelompok penentang pemerintahan atau kelompok separatis.

Dari unjukrasa Watch Indonesia di Berlin Jerman tanggal 23 Juli 2016, kelompok pendukung separatis Papua di luar negeri termasuk Watch Indonesia tampaknya tidak profesional dalam mengadakan aksi unjukrasa dengan indikasi isu yang disampaikan kurang berhasil menarik minat publik setempat seperti unjukrasa mereka di Jerman yang kurang diperhatikan masyarakat.
    
Indikasi kedua dari ketidakprofesionalan mereka yaitu lokasi-lokasi unjukrasa yang bukan di lokasi aktivitas publik, hal ini menunjukkan otoritas keamanan di Jerman pada khususnya dan di Eropa pada umumnya tidak menginginkan negaranya rusak citranya akibat unjukrasa kelompok pendukung separatis Papua di Eropa.
    
Indikasi lainnya, isu-isu negatif terkait Papua ternyata tidak mengubah opini positif masyarakat Jerman pada khususnya dan masyarakat Eropa pada umumnya, karena di era kebebasan informasi dan keberadaan media sosial, mengakibatkan masyarakat di belahan bumi manapun dapat mengakses perkembangan yang terjadi secara proporsional, sehingga masyarakat Jerman dan masyarakat Eropa secara bertahap semakin memahami bahwa kelompok pendukung seperatis Papua dan NGO yang berada di belakangnya selama ini hanya menebarkan kebohongan semata.
    
Berikutnya, dalam aksi unjukrasa Watch Indonesia juga terlihat tidak mempersiapkan orator-orator yang ulung, sehingga orasi yang disampaikan relatif tidak menarik atensi masyarakat setempat atau ada kemungkinan masyarakat setempat menganggap para pengunjukrasa adalah kelompok orang yang tidak mempunyai kegiatan/pekerjaan yang pasti, sehingga mereka dianggap hanya mencari sensasi atau kebisingan politik semata.

*) Penulis adalah Alumni Universitas Padjadjaran Bandung (Unpad). Mantan Direktur Komunikasi Massa di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta. Tinggal di Cirebon, Jawa Barat.

Pewarta: Kurniadi *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016