Mesir yang ramah! Itulah kesan umum yang dirasakan Antara dari pengalaman lima hari berada di negara Afrika Utara yang mengandalkan sektor pariwisata sebagai bagian dari sumber pendapatan utamanya itu.

Tatkala bertemu warga kebanyakan di Kota Kairo, Aswan, maupun Luxor, tak jarang mereka mengucapkan "selamat datang di Mesir" ketika mereka mengetahui orang asing yang menjadi lawan bicara mereka baru pertama kali menginjakkan kaki di Mesir.

Kesan ramah yang dibangun lewat ungkapan bersahabat itu tak hanya datang dari para pedagang di Pasar Khan al-Khalili, bazar tradisional yang telah berdiri di Kota Kairo sejak Abad XIV, maupun pasar sejenis di Kota Aswan.

Kesan yang sama juga datang dari dua anak berusia sekitar tujuh atau delapan tahun yang tengah bermain di depan taman Masjid Sayidina Hussein yang berlokasi di dekat Pasar Khan al-Khalili pada Senin sore (18/4).

Dengan girang dan lemparan senyum, keduanya menerima ajakan berfoto bersama di depan taman masjid yang dibangun tahun 1154 itu. Selain ramah dan bersahabat, rasa aman juga terbangun dengan kehadiran aparat keamanan sipil berseragam putih.

Keberadaan polisi-polisi bersenjata di lingkungan kota, termasuk beragam destinasi wisata budaya dan hotel, yang ada di Kairo, Aswan, maupun Luxor yang dikunjungi penulis pada 18-23 April itu menambah rasa aman bagi para turis asing.

Di tengah kehadiran aparat keamanan sipil itu, para wisatawan bergerak dengan aman dan bebas mengabadikan berbagai momen yang dirasa menarik baik yang ada di lingkungan kota maupun obyek-obyek wisata dengan kamera standar mereka.

Dari pengalaman berkunjung ke sejumlah peninggalan peradaban Mesir kuno yang menjadi andalan pariwisata Mesir, larangan mengambil foto hanya diberlakukan di beberapa tempat tertentu saja.

Di antara tempat-tempat itu adalah lorong dalam Piramid Cheops di kawasan Giza, Kairo, dan Lembah Para Raja, Luxor, kendati, untuk bisa melihat tempat bersemayamnya mumi para raja Mesir kuno itu, para wisatawan harus membeli tiket masuk.

Berbekal tiket masuk seharga 200 Pound Mesir (US$1=8,83 Pound Mesir), setiap pengunjung yang hendak merasakan sensasi petualangan Indiana Jones di lorong Piramid Gheops itu harus menitipkan kameranya kepada petugas sebelum diizinkan masuk.

Larangan mengambil gambar di obyek wisata Lembah Para Raja (Valley of the Kings), Luxor, tidak hanya tertulis di papan-papan pengumuman tetapi juga sejak awal diingatkan para pemandu wisata yang menemani rombongan wisatawan.

Mahmoud Ramadhan, pemandu wisata yang bekerja untuk Otorita Pariwisata Mesir (ETA), juga mengingatkan hal yang sama kepada penulis yang berkunjung bersama tiga wartawan Indonesia ke situs 62 kuburan raja Mesir kuno itu.

"Sama sekali tak boleh mengambil gambar. Kamera harus ditinggal atau dititipkan ke petugas," katanya sebelum memasuki lokasi situs kuburan yang dibangun secara rahasia di dalam perut perbukitan tandus berbatu itu.

Di antara para raja yang muminya dulu disemayamkan di bangunan-bangunan berbentuk lorong menurun dengan ruang-ruang berlukisan tangan itu adalah Raja Tut-Ankh-Amon, Rameses IV, Merenptah, dan Oremhb.

Mahmoud mengatakan setiap tahunnya, otoritas pariwisata Luxor membatasi jumlah lokasi kuburan yang bisa dikunjungi para wisatawan. "Setiap tahun hanya ada sembilan 'tomb' (kuburan) yang boleh dikunjungi," katanya.

Dengan membeli tiket masuk seharga 100 Pound Mesir (EGP), setiap turis asing dapat mengunjungi tiga kuburan, seperti Rameses IV-Merenptah-Oremhbsembilan. Mereka harus membeli dua tiket lagi jika hendak mengunjungi enam situs lain, katanya.

Pembatasan tersebut, menurut Mahmoud, dilakukan guna memberikan waktu bagi otoritas pariwisata Mesir melakukan restorasi dan preservansi terhadap 53 situs kuburan lainnya.
   
Andalan pendapatan

Bagi Mesir, keberadaan berbagai situs peradaban Mesir kuno berupa piramid, Lembah Para Raja, dan candi itu merupakan bagian penting dari kekayaan pariwisata dan menjadi andalan negara itu dalam meraup pendapatan.

Selama puluhan tahun, Mesir yang dijuluki "Umm-Al-Dunya" atau "Induknya Dunia" ini menikmati sumber pendapatan yang relatif besar dari kunjungan turis-turis mancanegara seperti Rusia, Inggris, Jerman, Italia, Polandia, dan Prancis.

Menurut Kepala ETA Samy Mahmoud, puncak kejayaan sektor pariwisata Mesir dicapai pada 2010 dengan total jumlah turis yang berkunjung 14,7 juta orang dan pendapatan 12,5 miliar dolar AS.

Namun pencapaian tahun 2010 itu tak bertahan. Sebaliknya, sektor pariwisata negara itu terpukul sebagai dampak dari Revolusi Mesir tahun 2011.

Tren penurunan tersebut berlanjut hingga 2015 dimana total jumlah turis mancanegara yang berlibur ke Mesir hanya mencapai sembilan juta orang dengan total pendapatan negara 6,2 miliar dolar AS, kata Samy Mahmoud.

Upaya menggenjot jumlah kunjungan wisatawan asing ke negara yang terkenal dengan kota-kota bersejarahnya seperti Kairo, Alexandria, Luxor dan Aswan ini terus dilakukan otoritas terkait dengan mengembangkan produk-produk wisata lain seperti Pertemuan, Insentif, Konvensi dan Pameran (MICE), SPA dan golf.

Pasar-pasar baru yang dinilai potensial, termasuk wisatawan asal Indonesia, pun mulai digarap. Dalam hal ini, kekayaan pariwisata budaya berupa beragam monumen bersejarah peninggalan peradaban masa silam menjadi andalan Mesir.

Di mata Ko-Koordinator Humas Sektor Pariwisata Internasional ETA Asmaa Edress, turis Indonesia merupakan pasar potensial di masa depan. "Dan kami menawarkan pariwisata budaya," katanya.

Sebagai wisatawan yang berasal dari negara kepulauan terbesar di dunia, orang-orang Indonesia diyakini Asmaa lebih cocok ditawari pariwisata budaya daripada wisata bahari berupa pantai yang eksotis dan laut yang dimiliki Mesir.

Dengan pariwisata budaya pula, manfaat ekonomi akan lebih besar dirasakan rakyat Mesir karena para wisatawan asal Indonesia yang mengunjungi berbagai monumen bersejarah yang tersebar mulai dari Kairo, Luxor hingga Aswan itu memerlukan mobilitas transportasi dan tempat menginap.

Manfaat dari efek beruntun kunjungan wisatawan mancanegara, termasuk asal Indonesia, yang memberikan perhatian pada kekayaan pariwisata budaya Mesir itu juga akan menggerakkan bisnis makanan rakyat negara itu, katanya.

Keseriusan Mesir dalam membidik pasar wisatawan Indonesia itu pun didukung oleh rencana EgyptAir menambah frekuensi penerbangan rute Jakarta-Kaironya dari dua kali yang kini ada menjadi empat kali seminggu pada 2018.

"Penambahan frekuensi penerbangan EgyptAir ke Jakarta itu direncanakan dilakukan pada 2018 atau 2019 saat kami mendapatkan tambahan pesawat," kata Menteri Urusan Penerbangan Sipil Mesir Sherif Fathi Attia.

Attia mengatakan pihaknya menyambut hangat warga negara Indonesia yang melakukan perjalanan umrah dan haji ke Arab Saudi dengan menumpang pesawat EgyptAir rute Jakarta-Kairo, dan pihaknya mengantisipasi pertumbuhan jumlah turis asal Indonesia yang berkunjung ke Mesir di masa mendatang.

Dengan kekayaan pariwisata budaya dan alam yang dimiliki, modernitas yang terus berdenyut, keamanan yang terpelihara, dan keramahan warganya yang menghadirkan kenyamanan, Mesir berupaya kembali meraih masa keemasan turismenya. (Ant).
 

Pewarta: Rahmad Nasution

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016