Bogor (Antara Megapolitan) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memberikan pembengkalan kegawatdaruratan dan resiko digigit ular atau hewan lainnya, untuk mencegah kefatalan karena salahnya penanganan kepada para penelitinya.

"Sejak dua tahun terakhir dalam setiap kegiatan ekspedisi penelitian, LIPI memberikan pembekalan kegawatdaruratan dan gigitan ular kepada pada peneliti yang akan berangkat," kata Amir Hamidi, koordinator ekspedisi bioresorces LIPI, dalam acara pembekalan penanganan kasus gawat darurat dan gigitan ular, di Cibinong Science Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu.

Amir mengatakan, LIPI menggandeng tenaga ahli gawat darurat dari Remote Envenomation Consultancy Servicces (RECS) Indonesia, untuk mengadvokasi penanganan kegawatdaruratan di kalangan peneliti maupun masyarakat luas.

Menurutnya, tahun ini LIPI melepas sebanyak 46 orang peneliti yang akan melakukan ekspedisi bioresources di tiga wilayah yakni Sumba, Sulawesi Barat dan Papua Barat.

"Para peneliti terbagi dalam beberapa tim yang akan melakukan ekspedisi selama 20 hari lebih," katanya.

Ia mengatakan, dalam setiap ekspedisi tak jarang para peneliti mendapatkan rintangan seperti harus berhadapan dengan hewan-hewan penggigit yang berbisa, seperti ular, kelabang maupun tawon.

Dalam setiap ekspedisi, setiap tim dibekali tenaga medis dan peralatan P3K yang memadai.

Selain itu, ada standar yang harus dipenuhi dimana jalur evakuasi tim medis untuk memudahkan upaya penyelamatan terhadap resiko kegawatdaruratan karena gigitan hewan.

"Pernah ada kejadian peneliti kita terserang jantung, ini juga bagian dari resiko yang harus kita mampu menangani agar tidak terjadi kefatalan," katanya.

Sementara itu tenaga ahli gawat darurat dari RECS Indonesia, Tri Maharani menyebutkan, ada banyak kasus-kasus gawat darurat yang terjadi di masyarakat maupun saat melakukan ekspedisi.

Menurut, penanganan pertama dalam kasus gawat darurat menjadi penting untuk penanganan selanjutnya sehingga mengurangi resiko fatal yang berdampak pada kematian.

"Contohnya kesedak, luka bakar, tertusuk benda tajam, atau kecelakaan, semua jika ditangani awal secara benar, maka resiko fatal dapat kita kurangi," katanya.

Untuk penanganan gigitan ular, kata dia, berkata pada kasus Irma Bule penyanyi dangdut asal Karawang yang meninggal setelah digigit ular peliharaannya, dikarenakan penanganan awal yang salah.

"Kita melihat penanganan awalnya salah, karena setelah digigit ular itu sesuai rekomendasi WHO yang dilakukan adalah "Presiden immobilisatio technique," katanya.

Menurut Tri, setelah mendapatkan penanganan awal, pasien gigitan ular harus segera dibawa ke rumah sakit, dan diberi serum anti bisa ular untuk mencegah bisa menjalar ke seluruh tubuh.

"Sayang Indonesia hanya memiliki satu serum untuk tiga jenis ular, untuk King kobra kita belum punya, baru Thailand dan Australia yang memproduksi," katanya.

Tri menambahkan, penanganan secara tradisional untuk penderita gigitan ular, seperti menggunakan keris, batu atau mengikat dengan rempah-rempah sudah tidak diperbolehkan lagi.

"Masyarakat kita dorong untuk melakukan penanganan sesuai yang direkomendasikan WHO," katanya.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016