Jakarta (Antara Megapolitan) - Berpaling ke Selatan.

Itulah kesan kuat yang dirasakan Antara tatkala mengikuti misi kunjungan delegasi RI ke Fiji dan Papua Nugini pada 30 Maret - 1 April silam. Selain Fiji dan PNG, Vanuatu juga sempat masuk dalam daftar negara yang akan dikunjungi namun  kemudian tidak jadi.

Kunjungan bilateral ke Fiji dan Papua Nugini yang dipimpin langsung Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan itu semakin menegaskan komitmen Indonesia untuk tidak lagi hanya memfokuskan sepak-terjang diplomasinya ke Utara tetapi juga ke Selatan.

Dalam kunjungan ke kedua negara yang menyandang status anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG) itu, Indonesia mengirim delegasi yang cukup besar. Di antara mereka yang ikut mendampingi Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan dalam misi itu adalah Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, Gubernur Maluku  Said Assagaff, Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba dan Kapolda Papua  Irjen. Pol. Paulus Waterpauw.

Sinyal kuat keseriusan Jakarta memperkuat hubungannya dengan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan itu  telah pun dimulai oleh  Menteri Luar Negeri Retno L.P.Marsudi pada 28 Februari 2015 melalui kunjungan pertamanya ke Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Fiji.

Bagi Duta Besar RI untuk Republik Fiji, Gary R.M.Jusuf, penguatan hubungan Indonesia dengan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan itu harus dibuktikan dengan kehadiran nyata yang dapat dirasakan pemerintah dan rakyat di sana.

"Kita harus membuktikan bahwa kita merupakan bagian dari negara-negara di kawasan Pasifik. Kita juga negara Melanesia," katanya kepada wartawan yang menyertai kunjungan delegasi RI di Suva, 31 Maret.

Untuk itu, keberadaan Indonesia di kawasan Pasifik Selatan dapat dirasakan melalui kunjungan nyata dari unsur pemerintah dan nonpemerintah untuk mendukung kerja sama di berbagai bidang, seperti ekonomi dan sosial-budaya, katanya.

Selama ini Indonesia selalu memusatkan perhatian diplomasinya pada Asia sehingga terkesan mengabaikan Pasifik Selatan karena kehadirannya tidak pernah dalam bentuk yang nyata. Namun kondisi ini kini telah mulai diubah dan Menlu RI sangat menyadari arti penting kehadiran nyata Indonesia itu dengan peta jalan yang jelas dan dapat dirasakan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan, katanya.

Penguatan hubungan dengan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan itu, menurut Dubes Gary, tidak terkait dengan MSG dan Pacific Islands Forum (PIF) namun dinamika yang berkembang di forum-forum regional itu mendorong Indonesia untuk lebih aktif.  

Melanesian Spearhead Group, misalnya, tidak terkait pembentukannya dengan masalah Papua tetapi dengan Kaledonia Baru namun dia mengakui bahwa isu Papua mengemuka dalam beberapa tahun terakhir.

Apa yang disampaikan Dubes Gary merupakan realitas yang mewarnai hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan, khususnya yang menyandang status sebagai anggota penuh MSG.

Bahkan, kendati Indonesia kini menyandang status anggota asosiat dalam forum MSG, eksistensi Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP) pun mendapat pengakuan setelah Konferensi Tingkat Tinggi ke-20 MSG yang berlangsung di Heritage Park Hotel, Honiara, Kepulauan Solomon, pada 26 Juni 2015 memberinya status peninjau.

Tak pelak, perkembangan ini merupakan tantangan yang mutlak dijawab oleh pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, serta segenap elemen bangsa dengan mempercepat penyelesaian berbagai sumber masalah yang menyebabkan kesenjangan dan mengusik rasa keadilan penduduk asli di sana.

Namun, dalam memandang upaya internasionalisasi isu Papua, Indonesia bersikap tegas. Seperti ditegaskan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, status politik wilayah itu sudah final bagi Indonesia sejak pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 yang membuka jalan bagi Papua menjadi bagian integral dari NKRI.

Kerena itu, menanggapi pertanyaan tentang MSG yang memberikan tempat pada isu Papua, dia mengatakan Indonesia tidak ingin isu tersebut dibahas di konferensi tingkat tinggi para pemimpin negara-negara anggota organisasi tersebut.
    
Masalah Dalam Negeri

Persoalan yang ada di Papua merupakan masalah dalam negeri dimana pemerintah terus menangani masalah-masalah yang ada secara holistik yang mengedepankan pendekatan kesejahteraan dan pendekatan humanis.

"Kita 'doing alot' (sedang melakukan banyak hal). Datang dan lihat sendiri," katanya.

Luhut tak menampik realitas faktual yang menyertai upaya perbaikan dan percepatan pembangunan yang terus dilakukan itu, termasuk indeks pembangunan manusia di Papua yang belum memuaskan di tengah kucuran dana Otonomi Khusus (Otsus) yang menurut Gubernur Lukas Enembe sudah mencapai Rp59,182 triliun sejak Otsus diberlakukan tahun 2002.

Melihat kenyataan ini, Luhut mengingatkan Gubernur Papua Lukas Enembe dan para bupati dan wali kota se-Provinsi Papua tentang pentingnya meningkatkan daya saing daerah mereka melalui peningkatan mutu sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik, serta mewujudkan pemerataan hasil pembangunan bagi seluruh rakyat.

Untuk dapat memberikan pendidikan yang bermutu kepada seluruh rakyat Papua,  Luhut pun mendorong para kepala daerah menggunakan alokasi dana otonomi khusus secara tepat dan akuntabel, serta memberikan tambahan anggaran bagi pendidikan untuk mendukung kemajuan daerah.

"Kalau kau bisa buat ini, maka ini akan menjadi 'legacy' (warisan) mu," katanya.

Terkait dengan bagaimana memajukan pendidikan di Papua, Luhut mengusulkan kerja sama antarkepala daerah untuk membangun sekolah menengah atas bermutu yang berbasis sistem asrama (boarding school) seperti SMA Unggul DEL yang dia dirikan di Sumatera Utara.

Di mata Luhut, masa depan Papua mutlak dibangun di atas pendidikan bermutu yang dapat diraih dan dirasakan oleh seluruh anak Papua.  Pesan ini pula yang berulang-kali dia sampaikan kepada para pejabat daerah maupun para pelajar yang menghadiri acara-acara yang diikuti Luhut baik di Jayapura maupun di pos perbatasan Skouw sebelum dia bertolak ke Fiji dan Papua Nugini.

Dorongan dan dukungan konkret pemerintah untuk kemajuan  yang mengangkat harkat, martabat dan derajat hidup seluruh rakyat Papua dan Papua Barat melalui apa yang disebut Luhut sebagai pendekatan kesejahteraan dan humanis akan menjadi energi yang kuat bagi diplomasi Indonesia di mana pun, termasuk dalam memperkuat relasinya dengan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan.

Dalam mendukung terbangunnya komunikasi yang produktif dengan para pihak yang ada di kawasan yang secara geografis bak "halaman belakang" Indonesia itu, Luhut memandang perlu adanya utusan khusus untuk kawasan Pasifik Selatan sebagai bagian dari upaya Indonesia memperkuat hubungan bilateralnya dengan negara-negara di sana.

"Saya akan menyampaikan usul ini kepada Bapak Presiden," katanya dalam jumpa pers yang berlangsung di atas pesawat Boeing 737-400 TNI-AU yang membawa delegasi RI dari Jayapura menuju Suva.

Keberadaan utusan khusus untuk kawasan Pasifik Selatan itu diharapkan dapat semakin mengintensifkan komunikasi Indonesia dengan pemerintah dan rakyat negara-negara di kawasan tersebut yang pada gilirannya akan membantu memperkuat diplomasi RI di sana.

"Masalah diplomasi penting dan kita harus agresif menjelaskan kepada negara-negara di kawasan Pasifik Selatan tentang kondisi dan situasi di dalam negeri, termasuk apa yang kita lakukan dalam penanganan masalah hak azasi manusia," katanya.

Indonesia sering menjadi sorotan internasional dalam masalah HAM padahal pelanggaran HAM berat justru dilakukan oleh negara-negara lain. Dalam konteks masalah Papua misalnya, sejumlah pihak di negara-negara kawasan Pasifik Selatan masih berpandangan bahwa orang Indonesia keturunan Melanesia hanya ada di Provinsi Papua dan Papua Barat.

"Kita coba patahkan argumentasi mereka satu-satu," katanya. Pada kenyataannya, Indonesia mempunyai 11 juta orang Melanesia yang tersebar di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur, katanya.
    
Modal awal

Menyinggung tentang hasil kunjungan delegasi RI ke Suva dan Port Moresby, Luhut menilai positif hasil yang dicapai dengan melihat tanggapan atau respons pemerintah kedua negara.  Fiji, misalnya, menekankan pentingnya kerja sama di bidang pendidikan, pertanian, dan pengolahan air. Bahkan Fiji menawarkan kepada investor Indonesia untuk mengembangkan industri pengolahan air di sana, katanya.

Keberhasilan misi delegasi RI di Fiji itu juga ditandai dengan adanya dukungan penuh pemerintah negara itu pada  Indonesia untuk mendapat status keanggotaan penuh di MSG.

Keikutsertaan kapolda Papua yang putra asli Papua, serta gubernur, wakil gubernur maupun pejabat yang mewakili pemerintah provinsi berpenduduk keturunan Melanesia seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur bahkan telah dipandang positif oleh Fiji dan Papua Nugini.

"Mereka juga 'respect' (hormat) pada Kapolda Papua Brigjen (Pol) Paulus Waterpauw. Jadi, kebijakan kita terhadap Pasifik Selatan ini harus agresif dan holistik," kata Luhut.

Buah dari kunjungan bilateral delegasi RI ke Port Moresby pada 1 April lalu diakui sendiri oleh Menteri Luar Negeri dan Imigrasi Papua Nugini Rimbink Pato.  Menurut dia, pertemuan bilateral delegasi PNG-RI yang dilukiskannya berlangsung secara konstruktif dan terbuka itu membuka peluang bagi penguatan kerja sama bidang ekonomi, investasi, dan perdagangan, serta kerja sama antarkedua kepolisian dan militer.

Menlu Rimbink Pato pun mengungkapkan keinginan Papua Nugini yang akan menjadi tuan rumah KTT Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) pada 2018 belajar dari pengalaman Indonesia yang berhasil dalam menyelenggarakan perhelatan internasional tersebut.

Dasar kerja sama kedua negara, katanya,  telah dibangun dari 11 nota kesepahaman dan tiga perjanjian yang telah ditandatangani guna memperkuat kemitraan bilateral yang dibangun di atas prinsip saling menghormati.

Menlu Rimbink Pato lebih lanjut menyinggung tentang peluang kerja sama di sektor energi, khususnya gas alam cair (LNG), sektor perdagangan dan perhubungan udara untuk mendukung penguatan hubungan antarmasyarakat kedua negara melalui layanan penerbangan.

Delegasi kedua negara juga membahas peluang kerja sama antarkepolisian dan militer terkait dengan keamanan di wilayah perbatasan, paparnya.

"Pengalaman baik Indonesia, termasuk dalam soal demokrasi, akan kami ambil dan kita (PNG-RI) bergerak bersama dan bekerja bersama," ujar Menlu Pato yang dalam pertemuan dengan delegasi RI turut didampingi Menteri Perdagangan Richard M dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Charles Abe ini.

Apa yang telah dicapai dari misi kunjungan bilateral delegasi RI ke Fiji dan Papua Nugini pada 30 Maret - 1 April itu agaknya menjadi modal awal bagi upaya memperkuat diplomasi Indonesia di "halaman belakangnya" yang selama berpuluh tahun alpa dirawat secara optimal seperti Jakarta merawat Asia, Eropa, dan Amerika yang dipandang "halaman muka" hubungan internasional RI.

Hanya saja, keberhasilan diplomasi RI di kawasan Pasifik Selatan itu juga turut ditentukan oleh kemampuan Indonesia menghadirkan kemajuan yang menyejahterakan, membawa keadilan, dan mampu merawat harkat dan martabat seluruh rakyatnya, termasuk saudara-saudara sebangsa dan setanah air di dua provinsi di ujung paling timur negeri ini yang selama ini merasa terabaikan. (Ant).  
    

Pewarta: Rahmad Nasution

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016