Bekasi (Antara Megapolitan) - Koalisi Persampahan Nasional menilai wacana pengolahan sampah menjadi energi listrik saat ini kurang diminati investor karena pertimbangan risiko bisnis.

"Hasil kajian potensi risiko pengolahan sampah menjadi listrik diperkirakan mencapai Rp2.000-Rp2.200 per KwH yang dihitung berdasarkan tingkat kerusakan `hardware` akibat korosi air sampah," kata Dewan Pembina KPNas Benny Tunggul di Bekasi, Rabu.

Hasil kajian pihaknya diketahui rata-rata 60 persen sampah perkotaan yang sampai ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Mengandung air.

Air itulah yang kemudian dihitung sebagai risiko kerusakan mesin Pembangkit Tenaga Listrik Berbahan Sampah (PLTSa) akibat korosi atau perkaratan besi.

Selain potensi korosi, kata dia, sistem tersebut juga berpotensi menimbulkan kerugian kebocoran gas metana sebagai bahan baku produksi listrik berbahan sampah.

"Kebocoran gas metana itu mungkin terjadi bila mekanisme sanitary landfill tidak diterapkan dengan baik," katanya.

Selain itu, potensi kerugian juga dihitung berdasarkan besaran bunga bank selama investasi berlangsung serta pengaruh inflasi.

"Perhitungan potensi kerugian juga kita hitung berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari bencana alam, seperti sampah longsor dan lainnya," katanya.

Dikatakan Benny, aturan seputar pembelian listrik berbahan sampah oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dari produsennya dinilai belum sebanding dengan potensi risiko yang ditanggung investor.

"Saat ini listrik berbahan sampah yang dibeli PLN dari pengelola sampah di TPST Bantargebang hanya Rp800 per KwH dari ketentuan Rp1.500 per KWH. Itu pun belum sebanding dengan potensi kerugian investor yang dihitung," katanya.

Menurut dia, sampah warga DKI di Bantargebang, Kota Bekasi yang dikelola menjadi listrik mencapai 14 megawatt, namun dari kapasitas tersebut, yang dapat diproduksi hanya 2 megawatt.

Pewarta:

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016