Bekasi (Antara Megapolitan) - Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menginstruksikan sisa anggaran pengadaan obat sebesar Rp6,5 miliar di Rumah Sakit Umum Daerah Setempat pada 2015 untuk diaudit.

"Anggaran obat yang menyisakan Rp6,5 miliar tersebut bisa menjadi multitafsir," katanya di Bekasi, Kamis.

Menurut dia, pihak auditor harus melihat, efisiensi tersebut memang karena pengadaan barang yang berlebih daripada kebutuhan sebenarnya, atau justru barang yang sama sekali tidak bergerak.

"Kalau barangnya tidak pernah bergerak, ini menjadi bumerang bagi sistem pengadaan," katanya.

Dorongan untuk mengaudit dana tersebut dilatarbelakangi hasil perbincangannya dengan pasien saat melakukan inspeksi ke RSUD.

"Pasien ini rujukan dari Rumah Sakit Bella yang mengharapkan setelah dirujuk ke RSUD Kota Bekasi bisa lebih mudah memperoleh obat. Akan tetapi saat yang bersangkutan akan menebus obat yang diresepkan dokter, bagian farmasi menyebutkan obat tersebut tidak ada stoknya," katanya.

Menurut Rahmat, hal itu tidak semestinya terjadi bila antara dokter dengan bagian farmasi ada komunikasi perihal stok obat yang tersedia, sehingga dokter bisa meresepkan obat yang memang ada stoknya.

"Yang terjadi justru muncul alasan obat yang diresepkan tidak diwajibkan disediakan untuk melayani pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan," katanya.

Pernyataan dari staf tersebut, kata dia, terkesan memperlihatkan bahwa selama ini ada pembedaan kualitas pelayanan terhadap pasien BPJS dan non-BPJS.

"Pemkot Bekasi masih mengeluarkan SKTM tentu atas dasar perhitungan. Mereka itu tetap berhak mendapatkan pelayanan yang baik saat berobat di RSUD," katanya.

Rahmat menegaskan bahwa RSUD sebagai Badan Layanan Umum Daerah tidak semestinya beorientasi pada keuntungan, namun harus misi sosialnya untuk melayani masyarakat.

Kemudian sisa anggaran obat sebesar Rp 6,5 miliar di akhir tahun 2015 harus dijadikan modal bagi pengadaan tahun 2016.

"Jadi yang semula pengadaan obat untuk tahun 2016 sebesar Rp60 miliar, maka dikurangi sisa yang tersedia tahun lalu sebesar Rp6,5 miliar. Kemudian mulai saat ini, pasien SKTM tidak boleh lagi dibebani pembayaran 50 persen tersebut," katanya.
(Adv).

Pewarta: Andi Firdaus

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016