Seoul (Antara/AFP/Antara Megapolitan) - Wanita Korea Selatan, yang dipaksa menjadi penghibur saat perang dan ratusan pendukungnya, pada Rabu berunjuk rasa menentang kesepakatan memalukan dengan Jepang, yang dirancang untuk menyelesaikan masalah tersebut dan berjanji tetap berjuang untuk keadilan.

Jepang menawarkan permohonan maaf tulus dan dana satu miliar yen (83 miliar rupiah lebih) untuk wanita Korea, yang dulu dipaksa menjadi "wanita penghibur" dan masih hidup saat ini, di bawah perjanjian, yang disebut Seoul dan Tokyo sebagai kesepakatan akhir dan tidak dapat ditarik.

Keadaan buruk mereka, yang disebut wanita penghibur, yang dipaksa menjadi pelacur militer saat Perang Dunia II, adalah masalah sangat emosional, yang menodai hubungan dengan Jepang, yang menguasai semenanjung Korea sejak 1910 hingga 1945, selama beberapa dasawarsa.

Kesepakatan besar itu mendapatkan tanggapan marah dari korban dan pegiat, yang mengangkat penolakan Tokyo untuk menerima pertanggungjawaban hukum.

Jepang mengatakan pemberian dana sebesar satu miliar yen ditujukan untuk mengembalikan kehormatan para wanita korban namun bukan sebagai bentuk kompensasi resmi.

"Perjuangan masih belum berakhir," kata Lee Yong-Soo, seorang wanita penghibur yang masih hidup saat ini dalam aksi protes di depan kedutaan Jepang di Seoul, yang dihadiri oleh satu korban lain dan sekitar 250 orang demonstran.

Pertemuan telah diadakan tiap minggu di tempat yang sama selama bertahun-tahun, menuntut permohonan maaf dan kompensasi resmi dari Jepang.

"Kami akan terus berjuang untuk membuat jepang mengambil tanggung jawab hukum yang resmi dan meminta maaf jadi para korban yang telah meninggal dunia akan mendapatkan keadilan," kata Lee, 88 tahun, menambahkan.

Pertemuan besar tersebut berlangsung suram saat mengenang sembilan bekas budak seksual meninggal padatahun ini, namun kemudian berubah menjadi kemarahan dengan para demonstran menyerukan slogan-slogan yang mencela Jepang dan perdana menterinya, Shinzo Abe.

Pengunjuk rasa membawa foto mendiang korban dan mengibarkan spanduk mengutuk kesepakatan itu, terutama janji Seoul menyingkirkan patung lambang korban, yang berdiri di depan kedutaan Jepang.

Beberapa di antaranya menyerukan slogan seperti "Batalkan kesepakatan yang memalukan itu!" dan mengibarkan spanduk yang bertuliskan "Katakan tidak kepada relokasi patung!".

Pemerintah Korea Selatan sekarang harus mendapatkan dukungan publik terkait kesepakatan itu, yang mendapatkan reaksi bercampur aduk dengan para media yang juga membicarakan persyaratan yang disetujui.

Sejumlah kecil bekas wanita penghibur yang telah memberikan pendapatnya terkait kesepakatan itu sebagian besar memberikan penolakan, namun pandangan dari korban lainnya belum diketahui.

Akan tetapi, jajak pendapat yang dilakukan belakangan ini menunjukkan 66 persen warga Korea Selatan menentang pemindahan patung tersebut.

Hampir 200.000 wanita di Asia yang banyak di antaranya berasal dari korea, diperkirakan telah dipaksa secara sistematis untuk memberikan pelayanan seksual kepada para tentara Jepang pada saat Perang Dunia II.

Jepang telah lama mempertahankan anggapan bahwa perselisihan itu telah diselesaikan pada kesepakatan 1965 silam yang menunjukkan Tokyo membentuk ikatan diplomatis dan membayar 800 juta dolar dalam bentuk hibah dan pinjaman kepada Korea.

Namun, Seoul mengatakan perjanjian tersebut tidak mencakup kompensasi bagi para korban semasa perang dan tidak membebaskan Tokyo dari tanggung jawab hukum.

Kesepakatan kompromi itu juga menuai reaksi bercampur di Jepang, dengan beberapa pegiat sayap kanan dan surat kabar mengkritik Abe atas penawaran permintaan maafnya.

Terdapat penerimaan marah di Beijing, yang menggenggam kemarahan masyarakat atas kekejaman Jepang semasa perang di Tiongkok termasuk adanya penggunaan wanita penghibur asal Tiongkok, sebagai sebuah alat untuk melawan Tokyo yang menjadi pesaing kawasannya.

Media nasional Tiongkok mencela permohonan maaf Jepang tersebut sebagai tidak tulus dan tidak cukup.

Penerjemah: Mabrian/B. Soekapdjo.

    

Pewarta:

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015