Menjadi atlet esport tidak pernah terbayang sebelumnya bagi Laode Nurdiansyah. Sejak di bangku Sekolah Dasar hingga 2010, pria asal Merauke, Papua itu menggeluti olahraga karate.
Berbagai event, baik tingkat daerah maupun nasional telah dicicipi Laode, di antaranya Kejurda Jayapura dan Sorong, Kejurnas Piala Mendagri Jambi dan Semarang, Kejurnas Inkado DKI Jakarta.
"Mengarah ke esport tidak ada rencana," ujar Laode yang mewakili Papua untuk game eFootball PES 2021 dalam ekshibisi esport Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua.
"Cuma sekedar hobi, tapi ada wadah untuk disalurkan tidak menyangka juga bisa sampai sejauh ini," dia melanjutkan.
Laode mulai bermain PES sejak versi pertama game video sepak bola tersebut dirilis -- PES 1 diluncurkan sekira tahun 2010. Kegemarannya bermain game sempat terganjal izin sang istri.
Baca juga: Rafli, remaja 13 tahun ini jadi atlet esport termuda di PON Papua
Sebab, esport, menurut Laode, masih sangat asing di Papua, terutama di Merauke. Apalagi, usia Laode yang tak lagi muda, 35 tahun, membuat dirinya dianggap hanya membuang waktu semata.
Namun, setelah mengikuti kompetisi di tingkat daerah dan mengemas gelar juara Laode tidak hanya mengantongi lampu hijau dari sang istri, tetapi kini juga telah mendapat dukungan penuh dari pasangannya.
Lebih dari itu, kegigihan bapak yang memiliki tiga orang putri itu juga berbuah manis setelah berhasil lolos kualifikasi dan menjadi wakil Papua ketika untuk pertama kalinya esport dipertandingkan di ajang olahraga multievent nasional.
Usia bukan masalah
Laode menjadi peserta dengan usia tertua di ekshibisi esport PON Papua. Dia terpaut 22 tahun dengan peserta usia termuda, Muhammad Rafli Setiawan, asal DKI Jakarta yang berusia 13 tahun.
Pria yang sehari-hari bekerja dalam bidang jasa di bandara Mopah, Merauke, itu mengaku pernah merasa terlalu tua untuk esport.
"Merasanya karena mungkin sudah terlambat karena keadaan. Di zaman sekarang ini baru berkembanglah esport, dengan umur kita sudah melampaui seperti itu," kata Laode.
Pernah suatu ketika, Laode bercerita, saat dia mendaftarkan diri untuk mengikuti kompetisi, beberapa anak usia sekolah menengah (SMP), berbisik mengatakan bahwa dia terlalu tua untuk bertanding esport.
Namun, anggapan orang -- bahkan ketika teman-temannya menganggap sebelah mata olahraga esport -- tidak digubris Laode. Dia berharap setelah mengikuti PON dapat bergabung dengan klub dan menjadi pro player.
Lebih dari itu, kecintaannya dengan esport tidak hanya untuk dirinya sendiri, dia berkeinginan untuk memajukan komunitas dan ekosistem esport di Merauke.
"Balik dari sini pasti saya cerita pengalaman saya dengan teman-teman lain di komunitas, harus seperti ini, harus seperti itu, karena di luar sudah seperti ini kita sudah jauh tertinggal," kata Laode.
Baca juga: Alfiana lebih pilih olahraga hoki ketimbang taekwondo
Mendorong komunitas
Perkembangan esport di tanah Papua, menurut Laode, terkendala dua hal, yakni perangkat dan yang utama adalah jaringan.
Laode menyebut, di antara 10 orang teman bermain hanya dua orang yang memiliki perangkat, sehingga dia bersama teman-temannya harus bermain secara bergiliran.
Keterbatasan perangkat bukan hal utama, menurut Laode, jika dibandingkan dengan jaringan yang menjadi tulang punggung esport.
"Untuk bakat di papua ini banyak sekali, mungkin banyak yang bagus-bagus belum terekspos dengan adanya kekurangan jaringan ini," ujar Laode.
"Kalau misalnya jaringan mungkin seperti di daerah lain yang lancar saya yakin pasti banyak, dan saya mungkin tidak berada di sini, karena mungkin yang bagus itu tidak terekspos."
Tidak hanya itu, menurut Laode, Merauke juga kekurangan kompetisi untuk mengasah bakat para talenta muda. Bersyukur, Laode mengatakan, saat ini banyak kompetisi yang digelar secara online, termasuk saat kualifikasi PON, meski lagi-lagi jaringan menjadi kendala utama.
"Kalau bisa jaringan sama rata di Papua ini supaya bisa dapat atlet-atlet yang bagus dari Papua. Saya yakin banyak sekali atlet dari Papua ini," dia menambahkan.
Baca juga: Berlatih panjat tebing sejak kelas 5 SD, Wiwi kini jadi andalan Jawa Barat
Ekshibisi esport PON Papua terbilang sukses membuat kejutan karena banyak peserta yang mendaftar. Ada empat kategori yang dipertandingkan yaitu PUBG Mobile, Free Fire, Mobile Legends dan Pro Evolution Soccer (PES) 2021.
PUBG Mobile diikuti oleh 19.664 atlet dari 4.916 tim, Free Fire diikuti oleh 13.608 atlet dari 3.402 tim, Mobile Legends diikuti oleh 11.985 atlet dari 2.397 tim, sedangkan PES 2021 diikuti oleh 3.838 atlet.
Tidak hanya itu. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, yang hadir sebagai pembina Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) mengatakan, dengan besarnya potensi nilai ekonomi yang ditawarkan, esport diharapkan terus berkembang agar makin kontributif terhadap pertumbuhan ekonomi digital nasional.
Sandiaga Uno menyebut sumbangan industri esport pada 2019 tercatat sebesar 1,3 miliar dolar Amerika Serikat. Jika dilihat dengan detail dalam setahun, pendapatan industri esport mampu tumbuh sebesar 33 persen menjadi 1,8 miliar dolar Amerika Serikat.
Hal senada juga disampaikan Ketua Harian PB ESI, Komisaris Jenderal Polisi Bambang Sunarwibowo yang menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar di industri esport, baik dari prestasi maupun pengembangan ekosistem dan industrinya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021
Berbagai event, baik tingkat daerah maupun nasional telah dicicipi Laode, di antaranya Kejurda Jayapura dan Sorong, Kejurnas Piala Mendagri Jambi dan Semarang, Kejurnas Inkado DKI Jakarta.
"Mengarah ke esport tidak ada rencana," ujar Laode yang mewakili Papua untuk game eFootball PES 2021 dalam ekshibisi esport Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua.
"Cuma sekedar hobi, tapi ada wadah untuk disalurkan tidak menyangka juga bisa sampai sejauh ini," dia melanjutkan.
Laode mulai bermain PES sejak versi pertama game video sepak bola tersebut dirilis -- PES 1 diluncurkan sekira tahun 2010. Kegemarannya bermain game sempat terganjal izin sang istri.
Baca juga: Rafli, remaja 13 tahun ini jadi atlet esport termuda di PON Papua
Sebab, esport, menurut Laode, masih sangat asing di Papua, terutama di Merauke. Apalagi, usia Laode yang tak lagi muda, 35 tahun, membuat dirinya dianggap hanya membuang waktu semata.
Namun, setelah mengikuti kompetisi di tingkat daerah dan mengemas gelar juara Laode tidak hanya mengantongi lampu hijau dari sang istri, tetapi kini juga telah mendapat dukungan penuh dari pasangannya.
Lebih dari itu, kegigihan bapak yang memiliki tiga orang putri itu juga berbuah manis setelah berhasil lolos kualifikasi dan menjadi wakil Papua ketika untuk pertama kalinya esport dipertandingkan di ajang olahraga multievent nasional.
Usia bukan masalah
Laode menjadi peserta dengan usia tertua di ekshibisi esport PON Papua. Dia terpaut 22 tahun dengan peserta usia termuda, Muhammad Rafli Setiawan, asal DKI Jakarta yang berusia 13 tahun.
Pria yang sehari-hari bekerja dalam bidang jasa di bandara Mopah, Merauke, itu mengaku pernah merasa terlalu tua untuk esport.
"Merasanya karena mungkin sudah terlambat karena keadaan. Di zaman sekarang ini baru berkembanglah esport, dengan umur kita sudah melampaui seperti itu," kata Laode.
Pernah suatu ketika, Laode bercerita, saat dia mendaftarkan diri untuk mengikuti kompetisi, beberapa anak usia sekolah menengah (SMP), berbisik mengatakan bahwa dia terlalu tua untuk bertanding esport.
Namun, anggapan orang -- bahkan ketika teman-temannya menganggap sebelah mata olahraga esport -- tidak digubris Laode. Dia berharap setelah mengikuti PON dapat bergabung dengan klub dan menjadi pro player.
Lebih dari itu, kecintaannya dengan esport tidak hanya untuk dirinya sendiri, dia berkeinginan untuk memajukan komunitas dan ekosistem esport di Merauke.
"Balik dari sini pasti saya cerita pengalaman saya dengan teman-teman lain di komunitas, harus seperti ini, harus seperti itu, karena di luar sudah seperti ini kita sudah jauh tertinggal," kata Laode.
Baca juga: Alfiana lebih pilih olahraga hoki ketimbang taekwondo
Mendorong komunitas
Perkembangan esport di tanah Papua, menurut Laode, terkendala dua hal, yakni perangkat dan yang utama adalah jaringan.
Laode menyebut, di antara 10 orang teman bermain hanya dua orang yang memiliki perangkat, sehingga dia bersama teman-temannya harus bermain secara bergiliran.
Keterbatasan perangkat bukan hal utama, menurut Laode, jika dibandingkan dengan jaringan yang menjadi tulang punggung esport.
"Untuk bakat di papua ini banyak sekali, mungkin banyak yang bagus-bagus belum terekspos dengan adanya kekurangan jaringan ini," ujar Laode.
"Kalau misalnya jaringan mungkin seperti di daerah lain yang lancar saya yakin pasti banyak, dan saya mungkin tidak berada di sini, karena mungkin yang bagus itu tidak terekspos."
Tidak hanya itu, menurut Laode, Merauke juga kekurangan kompetisi untuk mengasah bakat para talenta muda. Bersyukur, Laode mengatakan, saat ini banyak kompetisi yang digelar secara online, termasuk saat kualifikasi PON, meski lagi-lagi jaringan menjadi kendala utama.
"Kalau bisa jaringan sama rata di Papua ini supaya bisa dapat atlet-atlet yang bagus dari Papua. Saya yakin banyak sekali atlet dari Papua ini," dia menambahkan.
Baca juga: Berlatih panjat tebing sejak kelas 5 SD, Wiwi kini jadi andalan Jawa Barat
Ekshibisi esport PON Papua terbilang sukses membuat kejutan karena banyak peserta yang mendaftar. Ada empat kategori yang dipertandingkan yaitu PUBG Mobile, Free Fire, Mobile Legends dan Pro Evolution Soccer (PES) 2021.
PUBG Mobile diikuti oleh 19.664 atlet dari 4.916 tim, Free Fire diikuti oleh 13.608 atlet dari 3.402 tim, Mobile Legends diikuti oleh 11.985 atlet dari 2.397 tim, sedangkan PES 2021 diikuti oleh 3.838 atlet.
Tidak hanya itu. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, yang hadir sebagai pembina Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) mengatakan, dengan besarnya potensi nilai ekonomi yang ditawarkan, esport diharapkan terus berkembang agar makin kontributif terhadap pertumbuhan ekonomi digital nasional.
Sandiaga Uno menyebut sumbangan industri esport pada 2019 tercatat sebesar 1,3 miliar dolar Amerika Serikat. Jika dilihat dengan detail dalam setahun, pendapatan industri esport mampu tumbuh sebesar 33 persen menjadi 1,8 miliar dolar Amerika Serikat.
Hal senada juga disampaikan Ketua Harian PB ESI, Komisaris Jenderal Polisi Bambang Sunarwibowo yang menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar di industri esport, baik dari prestasi maupun pengembangan ekosistem dan industrinya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021