Toronto (Antara/Reuters/Antara Megapolitan) - Ancaman kelangkaan pangan dunia berpeluang naik tiga kali lipat akibat perubahan ikim, kata lembaga satuan tugas bersama Amerika Serikat dan Inggris pada Jumat.

Dengan mempertimbangkan bahaya tersebut, lembaga bernama Taskforce on Extreme Weather and Global Food System Resilience itu mendesak masyarakat dunia bersiap menghadapi kenaikan tajam harga pangan, yang dapat menyebabkan kerusuhan.

Gugus tugas itu memperkirakan bahwa kelangkaan produksi dan kenaikan tajam harga pangan akan terjadi setiap 30 tahun sekali sejak 2040 mendatang.

Dengan jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai sembilan miliar pada 2050, produksi pangan harus naik 60 persen. Jika tidak terpenuhi, maka peluang kerusuhan semakin besar, katanya dalam laporan tertulis.

"Iklim terus berubah dan rekor cuaca terus terpecahkan setiap harinya," kata David King, utusan khusus Kementerian Luar Negeri Inggris untuk Perubahan Iklim dalam laporan yang sama.

King menambahkan bahwa meski globalisasi dan perkembangan teknologi baru telah membuat sistem pangan dunia lebih efisien, sistem tersebut justru semakin rentan terhadap resiko.

Beberapa resiko besar terkait sistem pangan dunia di antaranya adalah; kenaikan harga minyak dunia yang kemudian membuat biaya pengan meningkat; berkurangnya kapasitas ekspor di Brasil, Amerika Serikat dan kawasan Laut Hitam akibat buruknya infrastruktur; serta kemungkinan depresiasi dolar AS yang menyebabkan harga komoditas melonjak.

Produksi pangan global kini sangat beresiko terdampak oleh cuaca ekstrim di Amerika Selatan dan Utara, serta Asia yang saat ini menjadi produsen utaram dunia untuk tanaman pangan seperti jagung, kedelai, gandum, dan beras.

Kekurangan produksi dan melonjaknya harga akan berdampak besar terhadap negara miskin yang bergantung pada impor seperti di kawasan sub-Sahara Afrika, kata laporan tersebut.

"Di negara rentan secara politik tempat ketahanan pangan sangat rendah, ancaman kerusuhan warga berkembang menjadi benturan semakin besar," kata laporan tersebut.

"Timur Tengah dan Afrika Utara adalah kawasan yang harus secara khusus diperhatikan, mengingat resiko yang mereka hadapi terhadap volatilitas harga internasional dan intabilitas. Mereka juga rentan terhadap ganggunan impor dan juga potensi gangguan eskpor energi," kata laporan tersebut.

Laporan itu mendesak agar negara-negara di dunia tidak menerapkan pembatasan ekspor di tengah cuaca ekstrim, seperti yang pernah dilakukan Rusia saat gagal panen pada 2010 lalu.

Peneliti dalam laporan tersebut mendesak perubahan sistem agrikultur, mengingat hasil pertanian saat ini tidak bisa mengimbangi kenaikan permintaan internasional.

"Saat ini dunia memerlukan kenaikan produktivitas, keberlanjutan dan ketahanan terhadap perubahan iklim. Hal ini membutuhkan investasi yang sangat besar dari sektor publik maupun swasta, serta kerja sama lintas-sektor," kata laporan itu.

Penerjemah: GM.N.Lintang/B. Soekapdjo.

Pewarta:

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015