Jakarta, (Antara Megapolitan) - Suasana Idulfitri 1436 Hijriah, yang seharusnya dalam suasana bergembira karena umat Islam sedang merayakan "kemenangan" melawan hawa nafsu setelah selama sebulan melaksanakan puasa Ramadan, ternodai dengan insiden di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua.

Insiden yang terjadi pada Jumat (17/7) pagi itu kemudian menjadi noda yang melukai umat beragama, khususnya kaum Muslim, pada saat seharusnya merayakan Lebaran dengan sukacita.

Untuk kesekian kalinya masyarakat tersentak dengan kejadian penyerangan terhadap umat Islam di Indonesia pada saat
merayakan hari suci, Idulfitri atau Lebaran.

Sekadar merujuk pada sejarah, insiden penyerangan pada hari-H Idulfitri, seperti terjadi di Masjid Baitul Mutaqin, Tolikara, bukanlah kejadian pertama.

Masih teringat dalam ingatan publik, kejadian serupa juga pernah terjadi pada Idul Fitri 1 Syawal 1420 Hijriah atau pada 1999 di Tobelo-Galela, Maluku Utara, yang kala itu adalah rembetan dari
konflik di Maluku yang berkepanjangan.

Presiden RI Joko Widodo melalui Staf Khusus Presiden Lenis Kogoya, dalam jumpa pers di Jakarta (18/7), menyatakan bahwa Kepala Negara "menyesalkan dan meminta maaf atas insiden" itu.

"Ini musibah dan atas nama Presiden, saya memohon maaf," ucap Lenis.

Ia menambahkan bahwa laporan itu sudah disampaikan kepada Presiden melalui Sekretaris Pribadi dan juga kepada Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Widjajanto pada Jumat malam.

Lenis yang juga Kepala Suku Papua merujuk laporan dari Masyarakat Adat Papua akibat kejadian itu satu orang meninggal dan 12 orang mengalami luka.

"Ini sudah ada pelanggaran hukum. Siapa yang melakukan tindakan kekerasan harus diproses secara hukum," katanya.


Tuntas

Terulangnya kembali penyerangan terhadap umat Islam oleh sekelompok umat dari agama lain adalah bukan hanya menyakitkan hati umat Islam di Indonesia, melainkan adalah persoalan serius yang harus diselesaikan secara tuntas dan sistemik.

Jika keberadaan Surat Ketua Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara--salinan surat itu telah beredar di media sosial yang di antara isinya melarang umat Islam untuk merayakan Idulfitri itu benar adanya, pengusutan persoalan tersebut haruslah dilakukan.

Pengusutan bisa dimulai dari Surat Ketua GIDI tertanggal 11 Juli 2015 itu, yaitu pertama: mengapa polisi dan tentara melakukan "pengabaian" karena bukankah sepekan sebelum kejadian sudah ada fakta yang menjurus pada pelanggaran hukum?

Atas hal itu, kapolsek, danramil, kapolres, dan dandim sebaiknya harus diberi sanksi dan dipindah dari wilayah itu sebagai wujud pertanggungjawabannya.

Kedua, karena Ketua dan Sekretaris GIDI itu membuat surat secara formal, yang isinya adalah melanggar hak asasi manusia (HAM) dan menyulut perbuatan suku, agama, ras, dan antargolongan (sara), mereka berdua harus dituntut secara pidana.

Ketiga, karena selama ini sikap pemerintah selalu menjaga umat Kristiani saat akan melakukan Natal dengan berbagai kegiatan pengamanan, mengapa saat ini pemerintah membiarkan umat Islam menjadi teraniaya pada saat Idulfitri?
Untuk itu, pemerintah juga harus meminta maaf pada umat Islam.


Tidak Sekadar Maaf

Kejadian seperti itu juga tidak boleh hanya diselesaikan dengan cara permintaan maaf dari kaum Nasrani, tetapi harus diselesaikan dengan membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa Papua adalah provinsi yang terbuka.

Dengan demikian, umat Islam di Papua adalah boleh mendirikan tempat ibadah seperti masjid dan melaksanakan ajaran
agamanya di sana.

Karena Bupati dan Ketua DPRD juga diberi tembusan dalam surat pimpinan GIDI, kalau perlu bupati dan Ketua DRPD-nya juga dituntut secara pidana karena melakukan "pengabaian" gerakan yang menjurus pada perbuatan sara dan penganiayaan.

Lenis Kogoya menyebut bahwa dari pengalaman sejak Indonesia merdeka, di Papua tidak pernah ada konflik agama.

Ia menyebutkan berdasar kalender nasional, pada tanggal 17--18 Juli 2015 sudah ada agenda nasional sehingga semua pihak di daerah harusnya saling berkoordinasi dan berkomunikasi.

"Perlu ditanyakan kepada pemda, polres, gereja, dan pihak lain apa pernah bicara soal agenda di kalender ini atau tidak. Jangansampai yang disalahkan hanya masyarakat," katanya.

Ia menyebutkan pada tanggal 25 Desember juga ada agenda nasional sehingga orang harus menghormati dan memberi kesempatan kepada orang untuk menjalankan ibadah.


Salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo) dan Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)

Pewarta: Dr. Ir. Ricky Avenzora, M.Sc.

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015