Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian (Balitbangtan Kementan) melakukan ekspose uji lanjutan penelitian eucalyptus yakni hasil pengujian in vitro, toksisitas, dan uji klinis, terhadap virus SARS-CoV-2 atau virus penyebab COVID-19 dengan hasil sangat menggembirakan.

"Hasil pengujian terhadap virus SARS-CoV-2 yakni pengujian toksisitas pada hewan model dan uji klinis pada manusia, yang dilakukan Balibangtan Kementan bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin," kata Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Kementan, NLP Indi Dharmayanti, pada talkshow "Satu Tahun Penelitian Eucalyptus", di Auditorium Puslitbang Perkebunan, Balitbang Kementan, di Kota Bogor, Rabu.

Pembicara lainnya adalah, Ketua Tim Riset Eucalyptus, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar dan Kepala Balitbangtan Kementan Fadjry Djufry.

Menurut Indi Dharmayanti, pengujian toksisitas pada hewan model dan uji klinis pada manusia, hasilnya sangat menggembirakan. Zat aktif eucalyptol dapat menjadi pilihan pengobatan yang potensial, karena berdasarkan hasil uji molekuler docking mampu mengikat Mpro pada virus SARS CoV-2 sehingga sulit bereplikasi.

Baca juga: Raker dengan Mentan, DPR singgung kalung eucalytpus atasi virus corona

Indi menjelaskan, selama setahun terakhir, bersama tim penelitinya melakukan riset lanjutan terhadap eukalyptus mulai dari uji in vitro, toksisitas, hingga uji klinis, dengan menggunakan virus SARS CoV-2 atau dikenal COVID-19.

Tim Peneliti dari Balai Besar Penelitian Veteriner, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Balai Besar Pascapanen Pertanian, serta BB Pengembangan Mekanisasi Pertanian, telah melakukan riset gabungan dengan melibatkan akademisi dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). "Hasilnya, sangat menggembirakan dan menjadi harapan bagi pengobatan COVID-19 di masa mendatang," katanya.

Menurut Indi, pengujian tersebut secara umum menunjukkan bahwa bahan tunggal maupun formula eucalyptus Balitbangtan yang diuji dapat menurunkan jumlah partikel dan daya hidup virus COVID-19, serta mengurangi kerusakan sel akibat infeksi COVID-19 secara in vitro.

Hasil penelitian tersebut dinilai berdasarkan peningkatan CT Value uji realtime PCR/rRT-PCR, peningkatan nilai Optical Density uji MTT, dan mencegah munculnya cytophatic effect (CPE) pada kultur sel. Uji toksisitas per-inhalasi pada mencit (Mus musculus) tidak menunjukkan perubahan klinis, patologi, dan histopatologi pada mencit yang diuji.

Baca juga: Kementan tegaskan tidak klaim kalung eucalyptus sebagai antivirus

Sementara, pada uji klinis, manifestasi klinis yang didapatkan, rata-rata durasi gejala pada kelompok yang diberikan eucalyptus lebih baik, terutama pada gejala batuk, pilek, dan anosmia. Demikian juga pada nilai Neutrophil-Lymphocyte Ratio/NLR mengalami penurunan dan menunjukkan perbedaan signifikan secara statistik.

Pada gambaran radiologi, secara umum juga mengalami perbaikan termasuk lima pasien yang tergolong moderat pneumonia mengalami perbaikan setelah mendapatkan terapi eucalyptus.

“Meskipun berdasarkan uji klinis produk ini dapat membantu mengurangi gejala klinis yang dirasakan penderita COVID-19, tapi penerapan protokol kesehatan dan pelaksanaan vaksinasi tetap menjadi pilihan utama dalam mencegah penularan COVID-19," kata Kepala BB Penelitian Veteriner ini.

Sementara itu, Ketua Tim Riset Eucalyptus, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, Arif Santoso, mengatakan, pihaknya harus melakukan terapi ke pasien COVID-19 yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Baca juga: Kalung antivirus corona berbasis tanaman eucalyptus diproduksi massal oleh swasta

Menurut Arif Santoso, Universitas Hasanuddin bekerja sama dengan Balitbangtan Kementan, ingin membuktikan bahwa apa yang terjadi pada pengujian in vitro, uji hewan, dan uji laboratorium, kemudian diterjemahkan ke pasien.

“Kita menggunakan metode ilmiah yang standar, memang hasilnya baik. Posisinya, eucalyptus sebagai adjuvan artinya obat tambahan. Jadi pasien mendapat obat yang seharusnya dan eucalyptus. Hasilnya lebih baik dibandingkan tanpa eucalyptus. Itu yang kami dapatkan," katanya.

Arif Santoso menambahkan, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, ke depan akan meneliti dalam jumlah sampel yang lebih besar sehingga bisa diaplikasikan secara luas ke masyarakat.

Sebelumnya, Berdasarkan studi terkait aktivitas antivirus senyawa 1,8-cineole pada SARS-CoV-2 melalui uji molecular docking yang dilakukan oleh Sharma & Kaur, pada tahun 2020, memperlihatkan bahwa Main protease (Mpro) atau chymotrypsin seperti protease (3CLpro) dari COVID-19, menjadi target potensial penghambatan replikasi coronavirus.

Senyawa 1,8-cineole yang juga disebut eucalyptol, adalah komponen utama dari minyak atsiri yang ditemukan dalam daun eucalyptus. Senyawa 1,8-cineole dalam eucalyptus memiliki kemampuan dalam menetralisir virus, anti inflamasi dan antimikroba.

Pewarta: Riza Harahap

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021