Yogyakarta, (Antara Megapolitan) - Indonesia ditantang dunia untuk membuktikan bahwa pelestarian  "curik bali" (Leucopsar rotschildi) atau burung jalak bali berhasil, kata  pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Dalam konteks konservasi, tantangan itu perlu kerja sama dan kerja keras bahwa Indonesia memang mampu," kata Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Dahono Aji di Yogyakarta, Kamis.

Ketika membuka "Pertemuan dan Sosialisasi Penangkaran Curik Bali" yang diselenggarakan (KLHK), Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB), Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia (Foksi) dan pemangku kepentingan terkait lainnya, ia menyatakan bahwa tantangan dunia itu bukan main-main dalam agenda konservasi satwa liar.

Ia menjelaskan bahwa pejabat yang mengurusi Konvensi Perdagangan Internasional Untuk Spesies-Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar Terancam Punah atau CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) telah datang dari Jenewa, Swiss ked Indonesia untuk memastikan bahwa dengan status
terancam punah jalak bali tidak boleh di ekspor.

"Sehingga pemerintah ditekan internasional yakni jangan sekali-sekali memberi kesempatan untuk ekspor dengan kondisi kritis semacam itu," katanya.

Menurut dia fakta di lapangan menunjukkan data bahwa pada 2004-2005 hanya ada lima ekor jalak bali di habitat alaminya di TNBB, sehingga pada saat itu status satwa itu terancam punah, sehingga diperlukan upaya lain untuk pemulihan populasinya dengan kegiatan "ex-situ" (di luar habitat alaminya), di antaranya melalui
penangkaran-penangkaran.

 Karena itulah, katanya, muncul upaya perlindungan terhadap jenis-jenis burung langka yang telah diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Di dalam PP tersebut dinyatakan telah tercatat 39 jenis burung yang dinyatakan dilindungi, dan salah satu sepesies yang dilindungi adalah jalak bali itu.

Selain itu dalam perdagangan  internasional melalui CITES telah dinyatakan sebanyak 15 jenis burung masuk dalam daftar Appendix I, artinya perdagangan internasional jenis-jenis dimaksud yang berasal dari habitat alam harus dikontrol dengan ketat dan hanya diperkenankan untuk kepentingan non-komersial tertentu dengan izin khusus.

Sedangkan yang termasuk Appendix II  sebanyak lebih kurang 242 jenis di mana memuat jenis-jenis yang saat ini belum terancam punah apabila perdagangan internasionalnya tidak dikendalikan.

Bambang Dahono Aji menambahkan bahwa melalui pengawasan internasional melalui CITES, pemerintah tidak ingin penangkaran di Indonesia mengalami masalah, termasuk dalam kualitas, sehingga tidak terjadi kondisi "in-breeding" (perkawinan sedarah).

"Kondisi 'inbreeding' itu akan menurunkan kualitas, meski saat ini sudah ada 100 penangkar di Indonesia, sehingga APCB diharapkan membantu agar bisa menangkarkan dengan kualitas baik," katanya.

Ketua APCB Tony Sumampau dalam kesempatan itu mengakui bahwa ancaman terjadinya "inbreeding" pada "curik bali" di penangkar sangat besar.

"Sehingga perlu dilakukan perbaikan genetika dengan cara memasukkan darah segar (fresh blood)," katanya.

Karena itu, langkah antisipasi akibat dari "inbreeding" diupayakan, di antaranya melalui sistem perkawinan yang terencana  dan terukur dengan baik, memasukkan individu yang memiliki darah segar, dan sering melakukan tukar menukar indukan yang memiliki silsilah  turunan yang berbeda dan genetik yang baik.

Sedangkan dari mana asal APCB akan mendapatkan darah segar, di antaranya sebanyak 200 ekor dari APCB  yang bersumber dari lembaga konservasi, 30 ekor dari Eropa melalui  Asosiasi Kebun Binatang dan Aquaria Eropa (EAZA), dan 20 ekor dari Wildlife Reserve of Singapore (WRS) di Singapura.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015