Jakarta (Antara Megapolitan) - Delapan bulan usia pemerintahan Presiden Joko Widodo, jalan menuju terwujudnya perdamaian yang langgeng untuk membantu semua pihak bergandengan tangan memajukan Papua semakin terbuka, seiring dengan perubahan kebijakan Jakarta di Bumi Cenderawasih itu.

Perubahan kebijakan wilayah paling timur Indonesia yang dimaksud adalah memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua, serta membuka jalan kebebasan bagi para jurnalis asing untuk melakukan tugas peliputan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Perubahan kebijakan tersebut terjadi pada 9 dan 10 Mei 2015, tatkala Presiden Joko Widodo berkunjung ke Provinsi Papua. Kado kebebasan bagi Apotnalogolik Lokobal, Numbungga Telenggen, Kimanus Wenda, Linus Hiluka dan Yefrai Murib itu diikuti dengan pengumuman kepala negara tentang kebebasan meliput bagi wartawan asing di Papua.

Gestur politik yang diharapkan Presiden Joko Widodo dapat membuka jalan bagi hapusnya stigma konflik di Papua, dan mendorong terwujudnya Papua yang damai itu disambut berbagai kalangan di dalam dan luar negeri dengan tangan terbuka.

Berbagai media berpengaruh dunia memberi tempat dalam pemberitaannya untuk perkembangan positif yang terjadi di Papua ini. British Broadcasting Corporation (BBC), misalnya, merilis berita berjudul "Indonesia frees prisoners and lifts media curbs in Papua" (Indonesia Membebaskan Tahanan dan Membuka Kebebasan Pers di Papua).

Adapun The Guardian, media Inggris yang meraih Penghargaan Pulitzer 2014, menurunkan berita bertajuk "Indonesia releases five West Papuan political prisoners as president pledges reforms" (Indonesia Membebaskan Lima Tahanan Politik Papua Tatkala Presiden Menjanjikan Reformasi).

Respons positif terhadap perubahan kebijakan Pemerintah RI itu tidak hanya datang dari para tahanan politik yang dibebaskan, tetapi juga sejumlah aktivis yang selama ini mendambakan terwujudnya Papua yang damai dan maju.

Kuasa hukum Yafrai Murib, Latifah Anum Siregar mengapresiasi grasi yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada kliennya yang sudah menjalani tiga tahun dari vonis hukuman penjara seumur hidup yang dijatuhkan kepadanya.

"Kami menyampaikan terima kasih dan mengapresiasi keputusan presiden dalam konteks membangun kehidupan berdemokrasi yang lebih baik di Indonesia," ucap Siregar.

Presiden Joko Widodo sendiri berjanji bahwa pemberian grasi kepada lima narapidana yang terlibat dalam kasus pembobolan gudang senjata Kodim 1710/Wamena pada 2003 itu merupakan awal dari dimulainya pembebasan para tahanan politik dalam kerangka rekonsiliasi demi terwujudnya Papua yang damai.

"Ini adalah awal, nantinya setelah ini akan ditindaklanjuti pembrian grasi atau amnesti untuk wilayah yang lain karena ada kurang lebih 90 orang yang masih di dalam penjara. Sekali lagi ini adalah awal dimulainya pembebasan," ujarnya.

Gestur politik Jakarta ini juga disambut baik Koordinator Jaringan Damai Papua Neles Tebay, namun dia berharap langkah ini diikuti dengan penyelesaian akar masalah makar yang menyebabkan kelima tahanan politik yang telah dibebaskan pada 9 Mei 2015 itu dulu dipenjara.

Menurut Neles Tebay, berbagai akar masalah yang ada di Papua, termasuk yang telah lama dipersoalkan para pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM), dapat idiidentifikasi dan dicarikan solusinya yang menyeluruh melalui dialog guna mewujudkan Papua yang damai itu.

Urgensi dialog yang konstruktif dan berkelanjutan antara pemerintah pusat dan berbagai kalangan pemimpin masyarakat Papua itu pula yang juga disuarakan Nicolaas Jouwe, tokoh Papua yang hampir 50 tahun menetap di Belanda sebelum kemudian memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

Seperti terungkap dalam buku berbahasa Inggris yang mengisahkan perjuangan panjangnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi berjudul "Nicolaas Jouwe: Back to Indonesia Step, Thought and Desire" (2014), Jouwe menekankan pentingnya dialog Papua-Jakarta itu serta kemajuan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Di mata mantan pemimpin OPM kelahiran Jayapura 24 November 1923 yang pernah terpilih sebagai wakil presiden Dewan Nugini (NGC) ini, pembangunan Tanah Papua yang dia dambakan adalah pembangunan yang sedapat mungkin memberikan peluang kemajuan ekonomi kepada masyarakat tradisional setempat melalui pemberdayaan, penghormatan dan pengakuan atas hak-hak mereka.

"Upaya membantu pembangunan Papua itu pula yang menjadi prioritas saya dan alasan mengapa saya kembali dan menetap di Indonesia," tulisnya dalam buku yang diterbitkan PT Pustaka Sinar Harapan Jakarta itu.

Pandangan dan harapan yang senada juga disuarakan Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi, tokoh kelahiran Serui 15 Oktober 1947 yang tercatat sebagai putra Papua pertama yang meraih bintang di lingkungan TNI dan menjadi anggota kabinet dalam pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
   
Sembilan kerangka utama

Bagi Freddy Numberi, setidaknya ada sembilan kerangka utama yang diperlukan untuk membantu semua pihak mewujudkan Papua sebagai tanah yang damai, maju dan berkeadaban.

Adapun kesembilan kerangka utama yang dia maksudkan itu adalah "mengakui hak-hak dasar orang Papua dan menghormati harga diri mereka; membangun rasa kebersamaan di antara sesama rakyat Papua maupun dengan mereka yang datang dari luar Papua; serta menjadikan rakyat Papua 'penguasa di tanahnya sendiri' dalam arti mandiri."

Seterusnya, "membangun sikap toleransi dan saling menghargai baik antara rakyat Papua maupun dengan pendatang; menghindari kekerasan yang selama ini terjadi yang disebabkan berbagai pelanggaran HAM di Tanah Papua; menegakkan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan sosial masyarakat Papua; menegakkan hukum dengan adil; menumbuhkan sikap saling percaya antara pemerintah pusat dan pemerntah daerah maupun masyarakat Papua; serta membangun dialog damai dan rekonsiliasi."

"Rakyat Papua telah begitu lama secara terus-menerus menyuarakan bahwa perlu ada dialog damai dan rekonsiliasi Papua-Jakarta," tulisnya dalam buku setebal 636 halaman berjudul "Quo Vadis Papua" (xvii, 2014).

Masyarakat Papua berpendapat kalau permasalahan Aceh dapat diselesaikan dengan jalan damai, maka sudah seharusnya pemerintah sangat berkepentingan untuk menyelesaikan permasalahan Papua dengan jalan damai pula, kata Freddy Numberi mengutip pandangan umum kalangan rakyat di wilayah paling timur Indonesia itu.

Seraya menyelesaikan semua pekerjaan rumah yang ada itu melalui dialog Papua-Jakarta, opini publik yang dibangun sejumlah kalangan yang anti-Indonesia di luar negeri terkait masalah Papua agaknya perlu juga mendapat perhatian pemerintah dan seluruh elemen bangsa Indonesia.

Pandangan kalangan akademisi, pegiat media independen dan hak azasi manusia, serta politisi tertentu yang selama ini berpandangan bias terhadap Indonesia dalam konteks isu Papua agaknya perlu diimbangi dengan informasi yang menggambarkan pencapaian dan kemajuan serta diskursus akademis yang berimbang dari Indonesia.

Setidaknya wacana bahwa Indonesia melanggar HAM, tidak menghargai kebebasan pers dan menghambat kerja-kerja jurnalistik sesuai dengan paham jurnalisme barat yang selama ini dikampanyekan para pendukung Papua merdeka seperti Nick Chesterfield, Maire Leadbeater dan Catherine Delahunty  dapat diimbangi.

Melalui jaringan mereka yang mendapat dukungan kalangan universitas seperti yang tampak dalam Konferensi Perayaan 20 Tahun Jurnal Pacific Journalism Review yang berlangsung di kampus Universitas Teknologi Auckland (AUT), Selandia Baru, pada 27-29 November 2014, orang-orang semacam Nick, Maire dan Catherine ini mendapatkan tempat.

Dengan ketulusan para pihak mewujudkan dialog Papua-Jakarta dan keterpaduan seluruh elemen bangsa Indonesia dalam mengimbangi kampanye pihak-pihak yang menginginkan Papua terpisah dari NKRI, gebrakan yang telah dimulai Presiden Joko Widodo pada 9 dan 10 Mei lalu itu dapat mencapai tujuan sejatinya.

Pewarta: Rahmad Nasution

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015