Bangkok (Antara/AFP/Antara Megapolitan) - Pendukung kelompok "Baju Merah" Thailand, Jumat, memberikan tanggapan kekhawatiran setelah saluran televisi milik oposisi berhenti mengudara, pukulan baru bagi kebebasan berekspresi di kerajaan pimpinan militer itu.

Dalam pernyataan disiarkan di Facebook pemimpin Baju Merah, Jatuporn Prompan, disebutkan bahwa Peace TV diperintahkan menghentikan penyiaran sejak Kamis pukul 20.30 oleh lembaga pengatur media negara tersebut.

Pada Jumat pagi, program televisi rutin di Thailand telah digantikan dengan layar tes.

Peace TV ditutup dalam sebuah sengketa dengan pemimpin militer Thailand yang merebut kekuasaan pada Mei 2014.

Saluran politik di negara yang terpecah ini merupakan salah satu korban pertama sensor yang diberlakukan menyusul terjadinya kudeta.

Larangan itu dicabut sekitar tiga bulan kemudian dengan syarat mereka menjauh dari isu-isu kontroversial atau mengkritisi rejim militer.

Namun, pemimpin penguasa dan Komisi Telekomunikasi Nasional (NTC) mengatakan Peace TV gagal menaati kesepakatan itu dan tetap menyinggung politik.

Banyak tanggapan diberikan atas pernyataan Jatuporn itu, yang mencela militer karena menutup salah satu saluran oposisi tersisa, di negara dimana perkumpulan politik dan unjuk rasa masih dilarang.

"Bahkan jika layar menjadi hitam, hati kami masih akan tetap merah," tulis seorang pengguna Facebook Pongsak Chaiyawut.

"Ini versi kediktatoran dari rekonsiliasi," tulis Nong Suhatcha, merujuk pada janji militer untuk menjembatani perpecahan yang telah menimbulkan kemelut politik selama hampir satu dasawarsa di negara tersebut.

Kelompok hak asasi manusia juga mengkritik langkah tersebut.

"Pelarangan atas Peace TV sangat aneh dengan kebijakan pemerintah untuk bekerja menuju rekonsiliasi nasional antara kelompok-kelompok politik yang bertikai," kata Shawn Crispin dari Komite untuk Melindungi Jurnalis dalam sebuah pernyataannya.

"Rekonsiliasi membutuhkan arus bebas informasi dan opini di antara semua aktor politik, sebuah peran yang seharusnya dimainkan media tanpa rasa takut akan tindak pembalasan," imbuh dia.

Penutupan saluran TV itu terjadi pada saat yang sensitif, dengan kelompok Baju Merah tengah bersiap memperingati aksi pembubaran unjuk rasa oleh militer pada 2010 yang menewaskan lebih dari 90 orang, sebagian besar pengunjuk rasa.

Kelompok Baju Merah merupakan pendukung setia perdana menteri terguling Thaksin Shinawatra dan saudara perempuannya Yingluck.

Keluarga itu dibenci oleh kelompok elit Bangkok dan militer yang menuding mereka melakukan korupsi dan nepotisme.

Namun mereka dicintai oleh penduduk miskin karena kebijakan populis mereka, terutama di kawasan terpencil di utara.

Thaksin digulingkan dalam kudeta 2006 sementara pemerintahan Yingluck digulingkan oleh militer pada Mei 2014.

Sejak saat itu pemimpin kelompok Baju Merah, atau dikenal sebagai Fron Bersatu untuk Demokrasi Melawan Kediktatoran (UDD), meninggalkan aksinya, mengasingkan diri, atau -- seperti Jatuporn -- setuju untuk meninggalkan politik.

Saluran-saluran milik kelompok "Baju Kuning" atau anti-Thaksin juga berhenti mengudara setelah kudeta tersebut, dengan beberapa diantaranya berganti nama setelah larangan itu dicabut.

Penerjemah: S. Haryati/B. Soekapdjo.

Pewarta:

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015