Bogor, (Antara Megapolitan) - Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir menggelar Konferensi Perempuan Internasional yang berlangsung di Kota Bogor, Jawa Barat, membahas mengenai isu feminisme Islam yang tidak sejalan dengan syariat.

"Masifnya gerakan feminisme yang menyerukan kesetaraan gender dan pemberitaan media-media kapitalis serta dunia barat tentang syariat Islam, yang tidak memberikan hak kebebasan untuk kaum perempuan melatar belakangi terlaksananya konferensi perempuan internasional ini," kata Fika Komariah dari Kantor Pusat Media Hizbut Tahrir untuk Asia Tenggara di Bogor, Sabtu.

Fikah mengatakan konferensi ini diselenggarakan serentak di lima negara yakni Palestina, Tunisia, Inggris, Turki dan Indonesia. Acara diikuti oleh peserta yang berasal dari berbagai kalangan yakni jurnalis, politisi, akademisi, aktivis, pengacara perempuan, dan ulama muslimah.

"Dalam konferensi ini kami ingin menyuarakan, membongkar faham feminisme dan liberalisme yang menggunakan isu perempuan untuk menyudutkan dan mempersalahkan syariat Islam," katanya.

Iffah Ainur Rochmah selaku juru bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menjelaskan, narasi yang disampaikan oleh dunia barat atau negara kapitalis bahwa syariat Islam tidak manusiawi terhadap perempuan.

Seperti larangan menggunakan burka, poligami, atau hukum cambuk yang diberlakukan oleh Aceh, Indonesia, Honor Killing di Paskitan, dan Hudud di Malaysia.

"Kami ingin membongkar narasi bohong yang diserukan dunia barat dan feminisme, mengklarifikasi tuduhan tersebut dan mengoreksi dengan menawarkan perubahan," katanya.

Dijelaskannya, penerapan syariat Islam tidak bisa secara parsial atau lokal, tetapi harus menyentuh semua tingkatkan mulai dari kenegaraan hingga pemerintahan di daerah.

Seperti hukum cambuk yang dilakukan Aceh juga tidak sepenuhnya benar karena daerah tersebut masih menerapkan sistem kapitalis, sehingga cambuk yang merupakan hukum Islam menjadi permasalahan bagi dunia barat dan gerakan feminisme.

Dikatakannya hak-hak perempuan dalam Islam sangatlah dihormati, salah satunya dari pernyataan Rasulullah SAW agar kita selalu menghormati ibu sebanyak tiga kali baru ayah.

Selain itu juga dinyatakan bahwa syurga itu berada di telapak kaki ibu, serta ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya.

"Islam sangatlah memuliahkan kaum perempuan dari mulai masa Rasulullah hingga kekhalifahan terakhi. Masuknya kapitalisme oleh kolenialisme yang menimbulkan terjadinya perbudakan, eksploitasi terhadap perempuan, pembunuhan hingga perzinaan," katanya.

Situasi yang lahir pada sejak zaman kolonial tersebut kini putar balikkan oleh dunia barat dan liberalisme untuk menyudutkan syariat Islam yang menyebutkan perbudakan, hukum cambuk, poligami, dan larangan mendapatkan pendidikan adalah pelarangan hak terhadap kaum perempuan.

"Islam tidak mengenal kesetaraan gender seperti yang diserukan oleh feminisme, karena hak-hak perempuan dalam Islam jelas diatur serta dimuliahan," katanya.

Perempuan boleh menyampaikan pendapatnya, boleh bekerja tetapi tidak wajib menafkahi keluarganya, uang yang dihasilkannyapun menjadi miliknya tidak harus diberikan kepada anak atau suaminya. Perempuan juga boleh berperang.

Dikatakannya kesetaraan gender yang diserukan oleh feminisme diartikan setiap individu memilik hak untuk memperlakukan dirinya tanpa ada yang boleh mengatur, seperti bekerja seenaknya, berpakaian seenaknya, atau berprilaku semauannya.

"Di dalam Islam kita memiliki Alquran dan Hadist sebagai pedoman yang mengatur hidup kita. Jadi hak persamaan bukan berarti kita boleh seenaknya mengatur diri kita menjadi yang kita mau. Inilah kesetaraan gender yang diserukan oleh feminisme," katanya.

Iftah menambahkan, syariat Islam tidak bisa ditegakkan hanya sepotong, secara parsial atau lokal saja. Tetapi secara keseluruhan menjadi satu kesatuan, yang harus dijalankan mulai dari pucuk pimpinan tertinggi yakni negara, hingga ke daerah terkecil.

Sementara itu, Sumayyah Ammar dari Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir pewakilan Malaysia menyebutkan gerakan feminisme tidak diterima oleh masyarakat muslim di negara Jiran tersebut, walaupun faktanya pemerintah menerapkan sistem kesetaraan gender untuk menaikkan perekonomian.

"Karena kesetaraan gender ini membuat perempuan bekerja, karena kebebasan bekerja mereka abai terhadap anak-anaknya. Hingga peran perempuan sebagai madrasah bagi anak-anaknyapun tidak terjalankan. Dampak negatifnya terjadi pengabaian orang tua dalam hal ini ibu terhadap tumbuh kembang anaknya," kata dia.

Summayah menambahkan yang menetapkan hak-hak perempuan di dunia bukanlah hukum internasional maupun feminisme tetapi hanyalah Syariat Islam.

Dalam Konferensi Perempuan Internasional yang diselenggarakan di Indonesia disiarkan secara langsung ke empat negara yang juga menggelar kegiatan serupa secara serentak. Dimana setiap perwakilan negara menyampaikan pandangan dan solusinya dalam menghadapi paham feminisme dan liberalisme terhadap isu perempuan.

Konferensi Perempuan Internasional ini mengangkat tema "Perempuan dan Syariah : Memisahkan Realitas dan Fiksi".

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015