Bogor, 24/3 (ANTARA) - Peneliti Yayasan Kekal Indonesia Jan Prince Permata mengemukakan bahwa peran media massa untuk mengangkat isu reforma agraria masih minim.

"Padahal reforma agraria merupakan program mulia untuk mengentaskan rakyat, khususnya petani dari kemiskinan," kata Kepala Divisi Politik dan Demokrasi Yayasan Kekal Indonesia Jan Prince Permata di Bogor, Jawa Barat, Sabtu.

Yayasan Kekal Indonesia, berkecimpung dalam penelitian dan advokasi pada masalah pertanahan, pertanian dan gerakan masyarakat madani.

Dalam diskusi bertema "Indonesia (Bukan) Negara Agraris: Kritisi dan Tanggapan Media Massa Terhadap Reforma Agraria" yang dipandu dosen sosiologi Universitas Indonesia Nia Elvina, ia mengurai tiga pandangan mengenai media, terkait isu dimaksud.

Pertama, kata dia, adalah kelompok media yang memang paham. Kedua, yang setengah paham, dan ketiga adalah kelompok yang tidak paham, dan kemudian terbagi pada anti-reforma agraria dan abstain.

"Kesemuanya itu tentu punya konsekuensi keberpihakan dengan latar-belakang media masing-masing, kenapa akhirnya mereka memilih mendukung, setengah mendukung, dan bahkan anti," kata Jan, yang juga mahasiswa Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Dengan tiga kategorisasi kelompok media tersebut, kata dia, maka bisa dipahami sejauh mana keberpihakan atas isu reforma agraria itu.

Hanya saja, ia menegaskan bahwa tidak dijadikannya reforma agraria menjadi isu penting, tidak sepenuhnya karena pihak media massa sendiri.

"Negara dan pemerintah sepertinya tidak mempunyai komunikator yang handal untuk mengkomunikasikan program mulia itu," katanya.

Ia menyebut begitu tertutup dan sulitnya media massa, termasuk di daerah-daerah untuk dapat mengakses informasi mengenai data dan proses-proses pertanahan di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat.

"Pada akhirnya media massa mendapatkan informasi dari pihak lain, dan kemudian menuliskan laporan, yang mestinya bisa diseimbangkan dengan data BPN jika mudah mendapatkan akses," katanya.

                                                  Skala Kecil

Dikemukakannya bahwa sebenarnya dalam skala kecil program redistribusi tanah itu telah dimulai.

Tepatnya pada puncak peringatan Hari Agraria Nasional yang ke-50, pada 22 Oktober 2010 di Istana Bogor, Jawa Barat.

Ketika itu disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di mana sekitar 142.159 hektare tanah di redistribusi kepada petani di 389 desa yang tersebar di 21 provinsi.

Secara simbolik redistribusi tersebut dilakukan dengan memberikan sertifikat tanah kepada petani asal Cilacap.

"Kini di tengah maraknya pemberitaan konflik agraria, mestinya semangat untuk merealiasikan reforma agraria diperkuat oleh negara," katanya.

Jan Prince Permata kemudian merujuk pada BPN pada tahun 2007, pernah mengumumkan telah mengidentifikasi potensi objek reforma agraria di daerah berpenduduk jarang 17 provinsi seluas 8,15 juta hektare.

Sementara untuk daerah yang padat penduduknya diidentifikasi objek tanah seluas 1,1 juta hektare.

Tanah seluas 9,25 hektare tersebut kabarnya akan diidentifikasi untuk dimasukkan ke dalam Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).

Namun, belakangan, wacana soal objek reforma agraria ini juga meredup. "BPN kita ketahui kemudian lebih banyak bicara soal sertifikasi tanah lewat program layanan rakyat untuk sertifikasi tanah (Larasita). Kemana wacana redistribusi tanah tersebut, itu yang sedang kita nantikan kembali," katanya.

Peserta diskusi Bayu, dalam kesempatan itu juga mewacanakan perlunya adanya data faktual pengusaha pemilik media yang memiliki tanah berlebihan.

"Sehingga publik akan mengetahui, apakah media massa itu berpihak pada reforma agraria, atau justru anti karena bisa mengganggu kepentingannya," katanya.

Sedangkan Muhammad Karim, dosen di sejumlah perguruan tinggi di Bogor mengingatkan bagaimana jika masyarakat yang masuk kriteria mendapat distribusi tanah, namun kemudian menjual lagi.

"Juga perlu dilihat ulang, isu reforma agraria itu apakah memang sudah sampai kepada masyarakat yang menjadi sasaran, atau justru ini hanya wacana di tingkat elit birokrasi BPN saja," katanya.

 

Pewarta:

Editor : Budisantoso Budiman


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2012