Bogor, (Antaranews Bogor) - Dekan Fakultas Kehutanan IPB Prof Bambang Hero Saharjo memprediksikan bencana kabut asap di tanah air berpotensi kembali terjadi apabila tidak dilakukan penanganan siginifikan, baik oleh Pemerintah Daerah maupun perusahaan perkebunan.

"Tahun 2015 ini diprediksi kabut asap akibat kebakaran hutan terjadi pada bulan April, Juni hingga Oktober mendatang," kata Bambang dalam kegiatan "coffee morning" menjelang orasi ilmiah guru guru besar IPB, di Kampus Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis.

Ia mengatakan belum adanya upaya siginifikan yang dilakukan di lapangan, baik oleh pemerintah daerah maupun perusahaan perkebunan, menyebabkan potensi bencana alam kabut asap kembali terjadi.

"Indikasi ini dilihat dari jumlah titik panas pada Januari di Sumatera sebanyak 350 dan Kalimantan ada 250 hotspot. Adanya peningkatan suhu udara yang cukup tinggi ini perlu dilakukan langkah antisipasi dengan tindakan nyata dari Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah," kata Guru Besar Perlindungan Hutan IPB tersebut.

Dikatakannya, 15 perusahaan baik HPI, HPH, maupun perkebunan belum menjalankan kewajibannya untuk menyediakan segala sarana dan prasarana mencegah terjadinya kebakaran lahan.

"Demikian pula Pemda, terutama di Provinsi Riau ada enam dari 12 pemerintah kabupaten di provinsi tersebut belum memenuhi persyaratan untuk pencegahan kabut asap," katanya.

Menurut Bambang, baru satu Pemerintah Kabupaten yang sudah melaksanakan upaya pencegahan yakni Kabupaten Bengkalis. Namun wilayah ini pertengahan Januari lalu sudah terkena kabut asap lebih dahulu dari daerah lain, begitu juga dengan kabupaten Pelalawan.

"Kalimantan juga sudah mulai ada kabut asap," katanya.

Ia menambahkan, kebakaran hutan dan lahan Indonesia bukan cerita kemarin sore atau bukan lima bahkan 10 tahun yang lalu tetapi sudah bertahun-tahun bahkan dapat dikatakan menjadi sejarah kelam yang menyakitkan.

Dalam lima tahun terakhir, titik panas tidak mengalami penurunan, ditambah lagi dengan meningkatnya secara siginifikat titik panas pada beberapa negara Asia Tenggara.

Beragam upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Tahun 1995 Presiden Soeharto melalui kebijakan PLTB, lalu tahun 2006 Presiden SBY menyatakan perang terhadap kabut asap, namun 2013 kabut asap meluas hingga presiden menyampaikan permintaan maafnya.

Akhir Januari 2014 kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi di Riau dari wilayah Kepulauan Meranti, hingga pertengahan Januari 2015 pemerintahan saat ini menyatakannya sebagai bencana kabut asap.

"Upaya pengendalian kabut asap tidak cukup hanya berargumen, tetapi perlu upaya signifikan di lapangan," kata Bambang.

Bencana kabut asap ini, lanjutnya, telah membuat rakyat kecil menanggung akibat dari kebakaran yang diperbuat oleh perusahaan. Meski sudah jelas kebakaran disebabkan oleh perusahaan, namun belum ada tindakan hukum sehingga membuat pengusaha perkebunan bebas lepas dan mendapat kesempatan lepas dari tanggung jawabnya yang menyebabkan kabut asap.

"Banyak modus yang telah digunakan dalam upaya merealisasikan pembukaan lahan dengan pembakaran, sehingga penegakan hukum harus dilakukan dengan berbagai peraturan perundang-udangan yang berlaku atau lintas sektoral agar menimbulkan efek jera," katanya.

Prof Bambang mengatakan yang menjadi persoalan saat ini adalah bagaimana mengungkap terjadinya kebakaran hutan dan lahan secara ilmiah yang didukung dengan bukti ilmiah sehingga penegakan hukumnya dapat dikenakan dengan "multidoor" atau banyak pintu.

Metode penegakan hukum dengan multidoor diawali dengan melakukan indikasi awal terjadi kebakaran bisa dilakukan dengan pembuktian secara ilmiah melalui pengamatan hotspot (titik panas) yang diperoleh dari citra satelit, verifikasi lapangan, verifikasi dokumen, alat bukti serta analisis laboratorium.

"Berbagai modus operandi berada di balik terjadinya kebakaran hutan dan lahan, mulai hanya ingin mendapatkan abu hasil pembakaran karena kaya mineral, atau dengan indikasi pinjaman sindikasi bank," katanya.

Bambang menambahkan pendekatan banyak pintu (multidoor) ini untuk mengoptimalkan efek jera dengan mengarahkan pemindahan kepada pelaku utama, pemulihan lingkungan hidup, pengembalian kekayaan negara, dan prinsip mengikuti aliran uang.

"Mayoritas kejahatan kehutanan, misalnya, terjadi karena adanya korupsi dari pihak terkait, sementara pengaturan mengenai hukum pidana dan hukum acara pindana dalam UU kehutanan memiliki beberapa keterbatasan," ujarnya.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015