Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi Sapto Pribowo baru sampai di rumahnya, Rabu (18/2) sekitar pukul 05.00 WIB seusai melakukan rapat tim krisis, tim internal yang dibuat khusus untuk mengatasi konflik KPK dan Polri.

Ia kemudian mandi dan tertidur satu jam setelahnya.

Permintaan sang buah hati untuk diantarkan ke sekolah terpaksa tidak dipenuhi karena badan yang sudah lelah dengan kekisruhan KPK dan Polri selama satu bulan terakhir.

Sekitar pukul 13.00 WIB, Johan pun merasa telepon selularnya bergetar terus-menerus. Setelah melongok ke layar ponsel, ternyata ada 53 panggilan tak terbalas (misscall).

"Ternyata setelah saya lihat di HP saya ada 53 misscall dari banyak orang, termasuk (Menteri Sekretaris Negara) Pratikno dan SMS dari ajudan presiden, dari orang kantor juga. Saya kaget juga, banyak yang mencari ada apa?" cerita Johan di kantornya, Rabu (18/2) malam.

Ia pun akhirnya mengangkat panggilan masuk yang ternyata dari salah seorang ajudan presiden.

"Sekitar jam 1 siang (pukul 13.00 WIB, red.), saya dihubungi ajudan presiden kemudian menyampaikan bahwa Pak JK (Jusuf Kalla) ingin bicara. Lalu, telepon diserahkan kepada Pak JK, kemudian terjadi dialog cukup singkat," ungkap Johan.

Johan menceritakan dialog singkat itu seperti ini:

"Ini Pak Johan? Dari pagi kita kontak tidak bisa," kata JK

Mohon maaf Pak, saya baru pulang jam 5 pagi (pukul 05.00 WIB, red.), dari kantor terus jam 6 (pukul 06.00 WIB, red.) baru tidur. Ada apa Pak?" tanya Johan.

"Anda ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Pimpinan KPK, Anda siap tidak?" tanya JK terus terang.

"Untuk lembaga ini saya siap Pak," jawab Johan.

Meski dia pun masih menanyakan bagaimana kelanjutan sejumlah laporan yang ditujukan kepada dirinya di Bareskrim Polri, Johan mengaku tetap bersedia menjadi pimpinan lembaga tempatnya bekerja sejak 10 tahun lalu itu.

"Saya sama sekali tidak menyangka dan terkejut ditunjuk sebagai Plt. Pimpinan KPK," aku Johan.

Selang sekitar setengah jam dari pembicaraan tersebut, Presiden Joko Widodo di Istana pun mengumumkan akan mengeluarkan keputusan presiden (keppres) pemberhentian sementara dua pimpinan KPK, yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto karena berstatus tersangka. Selanjutnya, akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk pengangkatan anggota sementara pimpinan KPK, yaitu mantan Komisioner KPK jilid I Taufiequrachman Ruki, dosen Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adji, dan Deputi Pencegahan KPK Johan Budi.

Pengumuman itu pun Johan mendengarkan lewat siaran ulang di radio di dalam mobilnya karena drinya masih dalam perjalanan ke KPK saat Presiden Jokowi menyampaikan pengumuman yang terlambat dari waktu yang dijanjikan pada awalnya sekitar pukul 11.00 WIB.

"Sehari sebelumnya memang ada dari pihak Istana tanya ke KPK mengenai usulan plt. pimpinan kepada saya selaku ketua tim krisis di KPK, kemudian kami bahas di dalam di tim krisis, kami usulkan beberapa nama, ada tujuh nama yang diusulkan, tetapi tidak ada satu pun nama yang berasal dari dalam KPK," jelas Johan.

Johan menilai hanya orang-orang yang tidak berasal dari KPK yang dapat menyelesaikan persoalan KPK saat ini.

"Kalau (mengusulkan nama) dari internal, tidak pas juga. Ada sejumlah nama, termasuk ada anggota Tim 9 yang kami usulkan dan beberapa nama lain. Ternyata di ada tim dari pakar hukum yang juga mengusulkan nama, tetapi baru belakangan saya tahu," ungkap Johan.
    
                Langkah Selanjutnya
Johan yang mengawali kariernya di KPK pada Biro Hubungan Masyarakat, Desember 2005, saat KPK masih berkantor di Jalan Veteran Jakarta Pusat itu mengaku belum dapat merumuskan kebijakan KPK ke depan.

"Saya tentu tidak bisa membicarakan tindak lanjut sebelum lima pimpinan berkumpul karena kerja di KPK harus semua pimpinan. Mungkin nanti bisa disampaikan setelah resmi (dilantik) dan saya bertemu plt. lainnya dan bertemu dengan Pak Zulkarnain dan Pak Pandu juga," kata Johan.

Langkah apa pun yang akan diambil nanti, menurut Johan, tujuan utamanya adalah penyelamatan eksistensi KPK.

"Sejak awal saya sampaikan, yang lebih penting buat saya pribadi adalah menyelamatkan lembaga dan ini harus ada tindakan segera dari presiden. Konkret apa pun kepentingan presiden. Ini Pak Presiden Jokowi sudah melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengembalikan lagi (kondisi yang) kalau saya bisa sebut karut-marut selama ini, terutama seolah-olah ada persoalan lembaga Polri dengan KPK," jelas Johan.

Ia mengapresiasi langkah yang diambil oleh Presiden Joko Widodo sebagai langkah cepat dan konkret.

"Apa pun keputusan Pak Presiden Jokowi tentu Pak Presiden lebih tahu dan saya yakin langkah ini tujuannya adalah untuk mengembalikan lagi, terutama menurut saya hubungan baik antara Polri dan KPK," jelas Johan.

Terkait dengan kemungkinan "serangan" lain dari pihak Polri, misalnya kemungkinan penetapan 21 penyidik KPK dari Polri dengan sangkaan kepemilikan senjata api ilegal karena sudah tidak lagi menjadi penyidik di Polri, tetapi tidak mengembalikan senjata api ke Polri sejak 2011, seperti yang disampaikan Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol. Budi Waseso, Johan mengatakan bahwa akan mengoordinasikannya kepada calon Kapolri.

"Saya baca berita, tadi disampaikan oleh Pak Badrodin (Haiti) yang diusulkan menjadi Kapolri, tentu langkah pertama kalau saya sudah dilantik, tentu bertemu dengan pimpinan Polri untuk berkoordinasi. Akan tetapi, saya belum tahu karena ini juga bukan hanya suara saya, ada empat pimpinan lain, dan Pak Badrodin juga saya baca juga akan segera melakukan kordinasi," tambah Johan.

Ia optimistis dengan kepemimpinan baru di KPK dan usulan baru calon Kapolri, yaitu Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Pol. Badrodin Haiti, hubungan KPK dan Polri dapat membaik.

"Ada kalimat yang menurut saya penuh makna saat pengumuman tadi. Pak Presiden Jokowi berharap agar Kapolri yang diusulkan bisa menjaga hubungan dengan KPK. Sebaliknya, KPK juga bisa menjaga hubungan. Ini dalam maknanya. Saya kira saya optimistis persoalan ini akan selesai," jelas Johan.

Soal kerja sama dengan dua plt. pimpinan lain, Johan juga mengaku dapat bekerja sama.

"Kalau Pak Ruki pernah menjadi pimpinan KPK, saya tentu dengan Pak Ruki paham kondisi KPK. Pak Seno kan pakar hukum, paham tentang hukum. Jadi, kalau saya pribadi bisa bekerja dengan Pak Ruki, tetapi kalau Pak Seno tidak tahu. Saya kenal tetapi kan belum pernah kerja bareng," tandas Johan.

Pria kelahiran di Mojokerto, 29 Januari 1966, itu merupakan lulusan dari Teknik Gas dan Petrokimia Universitas Indonesia tamatan 1992.

Setelah menyandang gelar sarjana teknik, dia bekerja sebagai peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (PPTMGB Lemigas) pada tahun 1992--1995.

Johan kemudian beralih profesi menjadi wartawan di majalah Forum Keadilan pada tahun 1995--2000 dan dilanjutnya di majalah Tempo pada 2000--2005.

Pada tahun 2005, Johan masuk ke KPK dan bekerja di Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK hingga meningkat menjadi Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK pada tahun 2009 sekaligus juru bicara (jubir) KPK.

Johan sudah menjadi jubir KPK sejak 2006 atau tiga tahun setelah KPK resmi berdiri pada bulan Desember 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana. Dia pernah juga merangkap sebagai Jubir dan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK pada tahun 2008--2009, selanjutnya pada tahun 2009 Johan menjadi Kepala Biro Humas KPK.

Ia pun pernah mendapatkan penghargaan "Golden Speaker Award" dari Rakyat Merdeka Group yang pemberian penghargaannya juga disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah penghargaan bergengsi lain.

Karier Johan kemudian meningkat sejak dilantik sebagai Deputi Pencegahan KPK pada tanggal 17 Oktober 2014.

Namun, menjadi pejabat publik di lembaga penegakan hukum juga membuat Johan berisiko tersandung masalah hukum. Misalnya, pelaporan terhadap dirinya dan mantan Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah pada tanggal 10 Februari 2015 oleh lembaga swadaya masyarakat Government Against Corruption and Discrimination (GACD) yang dipimpin oleh Andar Situmorang ke Bareskrim Polri karena keduanya diduga telah bertemu dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin sebanyak lima kali dalam kurun waktu 2008--2010 dan diduga membicarakan tentang kasus yang sedang KPK tangani.

Namun, meski KPK maupun dirinya mendapat banyak tantangan, dia yakin KPK masih akan terus berdiri dan Johan pun siap dilantik oleh Presiden Joko Widodo.

"Namun, syaratnya satu, saya tidak mau membawa anak dan istri saya ke pelantikan nanti. Itu sudah prinsip," tegas Johan.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015