Dewan Pengawas KPK menunda pengumuman putusan etik yang akan dijatuhkan kepada Ketua KPK Firli Bahuri yang seharusnya disampaikan pada Selasa (15/9) menjadi Rabu (23/9).

"Sebagaimana telah diinformasikan melalui akun twitter @KPK_RI, rencana persidangan etik Dewan Pengawas KPK dengan terperiksa YP (Yudi Purnomo) Pegawai KPK dan FB (Firli Bahuri) Ketua KPK ditunda dari Selasa menjadi Rabu (23/9)," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Perkara dua penyuap Bupati Kutai Timur siap disidangkan

Penundaan agenda sidang tersebut dilakukan karena dibutuhkannya tindakan cepat penanganan dan pengendalian COVID-19 di lingkungan KPK, khususnya Dewan Pengawas KPK.

"Dari hasil 'tracing' internal ditemukan indikasi interaksi antara pegawai yang positif COVID-19 dengan Anggota Dewas KPK, sehingga pada hari Selasa dilakukan tes swab sejumlah pihak terkait," tambah Ali.

Sidang pembacaan putusan tetap akan dilakukan secara terbuka karena mengacu pada Pasal 8 ayat (1) Peraturan Dewas KPK Nomor 3 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Persidangan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.

Sidang putusan dan konferensi pers rencananya akan dilakukan secara daring dan ditonton secara langsung melalui sejumlah kanal media sosial KPK yaitu melalui Youtube, Facebook dan Twitter resmi KPK.

Baca juga: KPK sesuaikan jam kerja pasca diterapkannya kembali PSBB total di Jakarta

Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo dilaporkan melakukan dugaan penyebaran informasi tidak benar dan melanggar kode etik dan pedoman perilaku "Integritas" pada Pasal 4 ayat (1) huruf o Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor: 02 Tahun 2020.

Yudi Purnomo Harahap dianggap melanggar pasal tersebut karena memberitakan terkait pemberhentian Kompol Rossa Purbo Bekti pada 5 Februari 2020.

Dalam penjelasannya, Yudi menilai dirinya sebagai Ketua WP KPK yang wajib membela dan menyampaikan aspirasi pegawai sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga WP KPK, apalagi status Rossa Purbo Bekti adalah anggota WP KPK.

Sedangkan Firli Bahuri diadukan Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman terkait dengan penggunaan helikopter mewah saat perjalanan dari Palembang ke Baturaja, Sumatera Selatan pada 20 Juni 2020.

Perjalanan dari Palembang menuju Baturaja tersebut menggunakan sarana helikopter milik perusahaan swasta dengan kode PK-JTO.

Firli diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku "Integritas" pada Pasal 4 ayat (1) huruf c atau Pasal 4 ayat (1) huruf n atau Pasal 4 ayat (2) huruf m dan/atau "Kepemimpinan" pada Pasal 8 ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor: 02 Tahun 2020.

Firli pun sudah dikonfrontir dengan pelapornya Boyamin di hadapan tiga orang pimpinan sidang etik yaitu tiga orang Dewan Pengawas KPK: Tumpak Hatorangan Panggabean (Ketua), Syamsuddin Haris dan Albertina Ho masing-masing sebagai anggota.

Baca juga: Pemkot Bogor targetkan capai 10 besar nasional pencegahan korupsi

Sementara itu, Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Harris menegaskan bahwa tidak ada tarik ulur kepentingan dalam penundaan sidang etik tersebut, melainkan karena alasan COVID-19 di lingkungan KPK.

"Tidak ada tarik ulur putusan,” ujar Syamsuddin Harris.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, ada sekretaris pribadi salah satu Dewas KPK yang dinyatakan positif COVID-19 sehingga menimbulkan kebijakan penundaan sidang putusan etik. 

Seperti diketahui, KPK menggelar tes usap massal seluruh pegawai dan pejabat struktural di internal KPK selama lima hari, mulai tanggal 7 September 2020 hingga 11 September 2020.

Dari total 1.931 spesimen tes usap, baru sekitar 1.600an spesimen yang keluar hasilnya dengan lebih dari 50 diantaranya dinyatakan positif COVID-19.

Pelaksanaan tes usap secara massal memang rutin dilakukan oleh KPK, seperti yang dilakukan menjelang para pegawai kembali berkantor setelah work from home (WFH) selama lima hari sejak awal september lalu.

Meski kebijakan WFH dilakukan untuk menekan penyebaran COVID-19, tapi tak sedikit justru yang dinyatakan positif setelah melaksanakan WFH.

Salah seorang sarjana psikologi Universitas Persada Indonesia Y.A.I, Nabila Putri menganggap kebijakan WFH saat ini tidak efektif dalam memutus mata rantai COVID-19. Pasalnya, banyak masyarakat menjadikan WFH sebagai momentum untuk bepergian, bahkan pulang kampung.

“Jadi sebenarnya WFH itu memancing orang keluar rumah dan di luar itulah orang mudah terpapar virus, ketika balik lagi ke kantor ya ga menutup kemungkinan mereka bisa nyebarin virus,” terang Nabila.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : M Fikri Setiawan


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020