Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah merumuskan indikator untuk mengukur kesiapan sektor manufaktur dalam bertransformasi menuju industri 4.0 yang disebut Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0). Hal tersebut merupakan tindak lanjut implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0, yang salah satu tujuannya adalah menciptakan daya saing global. 

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Doddy Rahardi menyebutkan, sektor industri logam, meski tidak termasuk dalam sektor prioritas seperti industri makanan dan minuman, kimia, tekstil, otomotif dan elektronika, tetap harus bertransformasi guna mendukung kesiapan menuju era digital 4.0. Pasalnya industri ini merupakan mother of industry. 

“Industri logam ini adalah mother of Industry karena produk logam dasar merupakan bahan baku utama yang menunjang bagi kegiatan sektor industri lain seperti industri otomotif, maritim, elektronika, dan sebagainya,” terang Doddy dalam sambutannya di ‘End-to-end Industry 4.0 Implementation in Tatalogam Group’, di kawasan Industri Delta Silicon, Cikarang, Kamis (16/7). 

Ia juga memaparkan, industri logam selama ini telah memberi kontribusi yang cukup tinggi bagi perekonomian bangsa Indonesia. Oleh karena itu, implementasi INDI 4.0 yang dilakukan di sektor ini sudah sejalan dengan program Making Indonesia 4.0. 

“Pada Januari hingga Mei 2020, sektor industri logam mampu memberikan kontribusi ekspor hingga 9,20 miliar dolar AS. Naik 41 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2019 yang hanya mencapai sekitar 6,5 miliar dolar. Hal ini selaras dengan salah satu strategi dalam program Making Indonesia 4.0. yaitu meningkatkan produktivitas industri yang berorientasi ekspor guna mendorong produk go internasional,” jelasnya. 
 
Industry 4.0 bukan untuk mengurangi tenaga kerja manusia. Justru industry 4.0 bertujuan untuk meningkatkan added value dari manusia.  (Megapolitan.Antaranews.Com/Foto/HO/Humas Kemenperin).


Tatalogam Group sendiri menjadi manufaktur logam pertama yang menjalani assessment INDI 4.0 oleh BPPI Kemenperin. Assessment kemudian dilanjutkan dengan pendampingan secara online pada hari Jumat-Senin (17-20/7) mendatang. 

Doddy menilai, inovasi yang selama ini dilakukan Tatalogam Group ditambah pendampingan dari BPPI, perusahaan ini akan lebih lebih maju lagi.

“Jadi Tatalogam ini kan tadi disebutkan sudah melakukan sertifikasi aplikator, sudah memiliki sertifikat dari Amerika, memiliki teknologi yang sudah maju, serta mampu berinovasi di tengah pandemi dengan membuka pasar baru di berbagai negara. Jadi kami harap mereka bisa menjadi lighthouse Indonesia sehingga bisa dijadikan contoh bagi industri lain di bawahnya agar bisa segera menuju era 4.0,” terang Doddy. 

Dalam kesempatan yang sama, Vice President Tatalogam Group, Stephanus Koeswandi mengatakan, secara garis besar implementasi 4.0 sudah mulai dilakukan Tatalogam Group di beberapa lini. 

“Kita sudah lakukan dibeberapa lini. Mulai dari machine to machine. Antara mesin itu sudah berhubungan. Jadi kalau buat kami, implementasi 4.0 itu konsepnya DNA. Harus ada Device, Network, dan Application (DNA),” ujarnya kepada wartawan. 

Stephanus menjelaskan, Device yang dimaksud berarti mereka memiliki mesin yang sudah lebih pintar. 

“Karena dia berputar beberapa kali, dia menghasilkan produk berapa? Dia bisa mengeluarkan output berapa tanpa ada yang mencatatnya terlebih dahulu, langsung terhubung ke ERP,” terangnya. 

Lalu setelah memiliki Device yang mumpuni, tahap selanjutnya ialah bagaimana mereka menggunakan Network. Mengkoneksikan antara Device ke system yang sudah exsisting. 

“Tapi peran manusia di situ tetap ada. Yaitu menggunakan Application. Untuk memverifikasi apakah mesin itu sudah berjalan dengan benar atau belum. Ada kesalahan di mana? Sebagai operator, namun dengan level yang lebih tinggi karena tidak hanya duduk memindahkan barang tapi juga sudah punya fungsi analisa,” jelasnya lagi. 

Stephanus menilai, industry 4.0 bukan untuk mengurangi tenaga kerja manusia. Justru industry 4.0 bertujuan untuk meningkatkan added value dari manusia. 

“Bukan produk, tapi manusianya. Kalau manusianya kita tingkatkan, kita kasih pekerjaan yang lebih manusiawi, bukan hanya memindahkan barang. Itu kan pekerjaan mesin. Kalau kita bisa beri pekerjaan yang lebih memanusiakan mereka, maka produk yang dihasilkan otomatis akan meningkat. Baik itu secara kualitas dan lain-lainnya. Dan itu sudah dibuktikan dengan kita menembus pasar ekspor,” urai Stephanus lagi. 

Pasar ekspor bisa menjadi tolok ukur bagi produk yang dihasilkan manufaktur yang telah bertransformasi ke era 4.0 karena standar yang ditentukan di berbagai negara sangat tinggi dan berbeda-beda pula. 

“Pasar ekspor ini tentu memiliki kualiti cek yang lebih tinggi. Bahkan standarnya berbeda-beda. Nah ini, dengan implementasi 4.0 ini dan juga bimbingan dari kementerian kita berharap bisa ditingkatkan lagi. Jadi perusahaan yang seratus persen kepemilikan Indonesia ini bisa menjadi perusahaan global.” terang Stephanus.  (RLs/Ind/34*).

Pewarta: Siaran Pers Kemenperin

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020