Menjelang Subuh itu Mumun Muniah terbangun dari tidur. Dia berniat sholat tahajud. Tiba-tiba ada yang terasa aneh pada tubuhnya. Sepasang kakinya tidak berasa dan lemas sampai tidak kuat berdiri lagi. Ia pun membangunkan suaminya yang jadi terheran-heran melihat penderitaan istrinya. “Sebelumnya tidak ada keluhan apa-apa dan tiba-tiba dia tidak bisa berdiri apalagi berjalan,” kata Ulul Azmi sang suami yang kemudian membawa istrinya ke rumah sakit lain sebelum akhirnya memindahkan perempuan berumur 52 tahun itu ke RSUD Kota Bogor.

Kejadian nyaris serupa dialami oleh Bagas, bocah berumur 12 tahun. Pagi itu sewaktu mau ke sekolah, siswa Madrasah Ibtidaiyah Al Khairiya, Leuwi Sadeng itu tiba-tiba merasa lemas dan kakinya tidak bisa digerakan. Mulutnya juga kaku tidak bisa bicara apa-apa.  “Rasanya seperti mimpi melihat anak saya tiba-tiba menderita sakit seperti itu,” kata Ihan, sang ibu yang kemudian bersama suaminya membawa Bagas ke RSUD Leuwiliang sebelum memindahkan ke RSUD Kota Bogor.

Apa yang diderita Mumun Muniah, warga Sindang Barang Jero  dan Bagas, warga Sadeng Jalan, Kabupaten Bogor memang terbilang langka. Menurut Dr. Edward, Kepala Bidang Pelayanan Medis RSUD Kota Bogor, kedua pasien itu terserang Guilan Barre Syndroma (GBS). “Ini penyakit akibat sejenis virus yang menyerang sumsum tulang belakang,” jelas Edward.

Penderita bisa tiba-tiba merasa kakinya lemas dan mendadak lumpuh. Jika tidak segera ditangani, dengan cepat virus ini akan menyerang saraf bagian tubuh lain, mulai dari kaki terus naik ke paha dan pinggang sampai kemudian ke paru-paru, “Sehingga dalam kondisi akut, pasien akan kesulitan bernafas dan itu bisa mengancam jiwa mereka,” lanjut Edward.

Selain segera, penanganan pasien seperti ini harus intensif dan itulah yang terjadi pada keduanya. Mumun masuk dan dirawat di ICU per tanggal 7 September dan Bagas menyusul pada tanggal 25 September 2014. Selama dalam perawatan di ICU mereka hanya berbaring lemah dengan nafas yang dibantu ventilator. Mereka maupun keluarganya tidak pernah menduga, perawatan di ICU memakan waktu  panjang. Baru pada tanggal 1 November 2014 mereka  baru bisa dipindah ke ruang perawatan biasa. Mumun dirawat di ruang Dahlia II dan Bagas di ruang Jasmine 1. Jadi mereka drawat di ICU hampir 2 bulan lamanya.

“Alhamdulillah, sekarang sudah banyak perubahan, bisa makan, bisa ngomong dan dia  sudah bisa mengangkat kakinya sendiri,” kata Ihan yang terus mendampingi Bagas selama dalam perawatan. Begitu juga Mumun. Dengan suara perlahan, guru Sekolah Luar Biasa Gunung Batu itu sudah bisa bicara walaupun belum bisa makan, karena bekas lubang di leher untuk membantu pernafasannya belum pulih.
 
Saat ini menurut Edward, mereka tinggal menjalani fisioterapi dan mengembalikan daya tahan tubuhnya. Sebab virus hanya bisa dilawan dengan kondisi tubuh yang kuat dan sehat. “InsyaAllah kalau perkembangannya membaik, sekitar dua minggu lagi mereka sudah bisa pulang,” katanya. Tinggal nanti berobat jalan dan terus meningkatkan daya tahan tubuh, supaya virusnya tidak aktif menyerang kembali.


Hak setiap orang untuk dilayani

Kisah kedua pasien itu hanya sebagian kecil dari begitu banyak kisah pasien yang sudah dan sedang dirawat di RSUD Kota Bogor, sejak diresmikan tanggal 7 Agustus 2014 lalu. Walaupun rumah sakit ini dikelola Pemerintah Kota Bogor, pasien yang datang tidak bisa diseleksi. Warga kota dan warga kabupaten, sama-sama dilayani.

 â€œKami tidak boleh menolak warga kabupaten, karena hak setiap orang untuk segera dibantu dan mendapatkan pelayanan medis sebaik-baiknya disini,” kata Okto, Kabag Humas dan Hukum RSUD Kota Bogor. Begitupun, tidak ada alasan untuk menomor-duakan pasien BPJS. “Justru lebih dari 80 persen, pasien disini adalah pasien BPJS,” lanjutnya.

Konsekuensinya, RSUD Kota Bogor harus siap menanggung terlebih dahulu berbagai pembiayaan yang dibutuhkan pasien. Termasuk biaya yang mencapai ratusan juta rupiah yang diperlukan dalam perawatan pasien penderita GBS. Menurut Edward, pasien GBS diantaranya harus diberi Imuno globulin selama perawatan intensifnya. Kedua pasien itu diberi obat tersebut sebanyak 6 botol per hari selama satu minggu.

Harga per botol imunoglobulin konon memang fantastis, dan itu tidak perlu menjadi beban pikiran pasien maupun keluarganya. “Yang penting mereka diselamatkan dulu, karena ini menyangkut hak siapapun untuk bisa melanjutkan dan menikmati kehidupan,” kata Gunadi, Kabag Keuangan RSUD Kota Bogor. Lagipula, bukankah nyawa seseorang tidak ternilai harganya, sehingga dengan cara apapun harus bisa diselamatkan oleh siapapun. Termasuk oleh tim medis RSUD Kota Bogor.

(Adv)

Pewarta:

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014