Jakarta, (Antaranews Bogor) - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat menyatakan bahwa kenaikan harga bahan bakar minyak adalah sebuah keputusan yang sangat tidak pro-"wong cilik", termasuk di dalamnya buruh.

"Kenaikan harga BBM sebesar Rp2.000 per liter atau lebih dari 30 persen itu akan mengakibatkan daya beli buruh turun 50 persen, khususnya kenaikan biaya hidup sewa rumah, ongkos transportasi, biaya makanan dan lain-lain," katanya di Jakarta, Kamis.

Karena itu, kata dia, keputusan tersebut jelas tidak berpihak pada rakyat kecil, dan dampak kenaikan BBM tentunya akan dirasakan langsung oleh buruh dan juga rakyat miskin.

Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) sebagai bagian dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), bersama seluruh elemen buruh dan rakyat, kata dia, telah mempersiapkan aksi besar- besaran di 20 provinsi dan 150 kabupaten/kota dengan sejumlah tuntutan.

Tuntutan itu, kata dia, menolak kenaikan harga BBM, meminta seluruh gubernur untuk menghitung ulang nilai upah minimum provinsi (UMP)/upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2015, akibat kenaikan harga BBM.

Selain itu, juga menolak UMP DKI Jakarta 2015 sebesar RP2,7 juta, dan menetapkan UMP di kisaran Rp3 jutaan.

Ia menegaskan bahwa kenaikan UMP/UMK yang hanya di kisaran 11 persen, dengan naiknya BBM itu tentunya tidak akan bisa dinikmati manfaatnya oleh oleh buruh.

Pihaknya menilai pemerintah telah membohongi rakyat dengan mengatakan bahwa subsidi harga BBM hanya dinikmati oleh orang kaya saja.

Faktanya, kata dia, rakyat yang mayoritas adalah golongan ekonomi lemah, sesungguhnya sangat terbantu dengan adanya subsidi BBM dari negara.

"Tukang ojek, petani, nelayan, pedagang dan tentunya buruh sesungguhnya berhak mendapatkan kesejahteraan dari negara, sebagaimana amanat UUD 1945," katanya.

Ditegaskannya bahwa tuntutan rakyat ini tentunya tidak berlebihan karena sudah menjadi kewajiban negara untuk mensejahterakan seluruh rakyat, dari setiap kekayaan alam yang dihasilkan oleh bumi pertiwi.

Turunnya daya beli buruh, katanya, diperparah dengan kenaikan UMP/UMK yang sangat kecil, seperti UMP DKI yang hanya Rp 2,7 juta, sehingga kenaikan UMP ini disebutnya "sama saja bohong" dan sia-sia jika dibandingkan dengan kenaikan harga BBM dan segala dampaknya.

Aspek Indonesia melihat keberpihakan Pemerintahan Jokowi-JK kepada kelompok pemodal, dalam hal kenaikan harga BBM ini, sangat terasa.

Di saat negara-negara lain menurunkan harga BBM akibat turunnya harga minyak dunia, kata dia, justru pemerintahan Jokowi-JK "ngotot" untuk menaikkan harga BBM.

"Justru pengusaha yang mendapatkan keuntungan, antara lain dari pengurangan subsidi BBM tersebut mereka mendapatkan keuntungan infrastruktur serta potensi profit pengusaha tidak berkurang karena mereka akan menaikkan harga jual barang," demikian Mirah Sumirat.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014